Senin, 27 September 2010

The Forgotten War (Perang yang Terlupakan)

Perang Korea 1950

Situasi di semenanjung Korea saat ini nampaknya semakin memanas menyusul isyarat Korea Utara untuk kembali meluncurkan rudal antarbenua Taepodong-2. Gawatnya lagi, rudal ini diperkirakan akan mampu mencapai kawasan Hawai, Amerika Serikat. Tentu saja hal ini tidak saja memicu kecemasan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates, tapi juga Presiden Barrack Obama.


”Pemerintah dan juga militer kita sepenuhnya siap menghadang rudal tersebut,” begitu tegas Obama dalam wawancara dengan televisi CBS.

Akankah perang Korea meletus kembali? Pertanyaan ini wajar karena gentingnya situasi di Semenanjung Korea saat ini sepertinya mirip kejadian  pada 1950, sesaat menjelang Korea Utara memutuskan untuk menyerbu Korea Selatan yang dianggap pro Amerika Serikat. Inilah perang dahsyat yang kerap juga disebut Perang Yang Terlupan (The Forgotten  War).

Perang Korea Utara versus Korea Selatan yang notabene perang antar-saudara ini, sebenarnya melibatkan tiga negara adidaya yang secara diam-diam mengatur permainan dan dan konflik bersenjata itu dari balik layar.Yakni Amerika Serikat, Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.

Informasi penting yang kiranya patut direnungkan generasi sekarang yang tidak mengalami langsung kejadian tersebut adalah fakta bahwa perang Korea itu telah menewaskan lebih dari 5 juta orang. Barang tentu sebagian besar korban jiwa berasal dari warga masyarakat sipil dari berbagai kalangan.

Memang musabab meletusnya Perang Korea bermula ketika Amerika dan Uni Soviet yang sama-sama tampil sebagai Pemenang dalam Perang Dunia II, kemudian membagi beberapa negara yang sebelumnya diduduki tentaran fasis Jepang.

Ketika Jepang menyerah tanpa syarat kepada Amerika dan Sekutu, maka Semenanjung Korea mau tidak mau dibagi di antara Amerika dan Soviet. Amerika mendapat Korea Selatan, sedangkan Soviet Korea Utara.

Namun ketika Amerika dan Soviet berbeda paham dan metode dalam mengelola kedua bangsa yang terbelah tersebut, Korea Utara yang didorong untuk menyatukan kembali saudara-saudaranya di Korea sebelah selatan yang telah dikuasai Amerika, maka Korea Utara memutuskan untuk menyerbu Kora Selatan yang didukung dari belakang layar oleh Amerika pada 25 Juni 1950.

Korea Korban Permainan Catur Negara-Negara Adidaya

Sejak semula masa depan Korea memang sudah diprediksi bakal runyam. Dalam konferensi Yalta di Krimea pada Februari 1945, beberapa negara sekutu berkumpul bersama untuk bahas soal perang melawan Jerman dan Jepang. Namun lebih strategis dari itu, mereka juga bahas agenda pasca perang. Yaitu menyepakati pembagian negara atau wilayah yang sebelumnya diduduki Jerman dan Jepang.

Sialnya, masa depan Korea, yang ketika itu masih diduduki tentara fasis Jepang, justru tidak jelas konsep dan skemanya. Frank Delano Roosevelt, Presiden Amerika kala itu, mengusulkan kepada orang nomor satu Soviet Josef Stalin mengenai kemungkinan membentuk perwalian (trusteeship) oleh empat negara: Amerika, Soviet, Inggris dan Cina.

Waktu itu, Stalin kabarnya setuju-setuju saja karena toh kesepakatan itu hanya bersifat prinsipil tanpa kejelasan dalam detil, skema maupun penerapannya.

Ketika pertemuan Yalta berakhir, dan sekutu menang perang terhadap Jerman dan Jepang, hubungan antara Amerika-Inggris pada satu sisi, dan Soviet dan Cina pada sisi yang lain, justru semakin menegang kalau tidak mau dikatakan semakin memburuk.

Tapi mau tidak mau ketika Jepang menyerah kepada sekutu di Asia Pasifik menyusul jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Agusutus 1945, maka proses pembagian Korea itupun tak terelakkan.

Sesuai arahan dari Washington mengenai syarat-syarat penyerahan tentara Jepang, maka diputuskan agar seluruh pasukan Jepang yang berada di sebelah Utara garis lintang  ke-38 , harus menyerahkan diri kepada tentara Soviet.

Sedangkan yang berada di Selatan garis , harus menyerahkan diri kepada tentara Amerika.

Arahan kebijakan Presiden Harry Truman, yang baru saja menggantikan Roosevelt yang wafat akibat penyakit polio yang sudah lam dideritanya, ternyata disepakati oleh Stalin dari Soviet. Bahkan dari berbagai analisa kalangan ahli pertahanan dan strategis, ketika itu kalau mau Soviet bisa saja langsung mencaplok Semenanjung Korea secara keseluruhan, karena toh tentara Amerika masih berada di Okinawa, Jepang.

Dari informasi ini, nampak jelas Soviet yang sekarang menjadi Rusia kembali seperti sebelum Revolusi Oktober 1917, memiliki etika yang tinggi dan menjunjung tinggi kesepakatan yang telah dicapai dengan almarhum Roosevelt.

Inilah fase yang mengawali nasib buruk Korea sebagai bidak permainan catur antar negara-negara adidaya. Bangsa Korea yang pada hakekatnya bersaudara baik yang di selatan maupun utara, tiba-tiba di luar kendali mereka sendiri, terbelah dua hanya gara-gara pembagian negara-negara pasca pendudukan Jepang oleh dua negara sekutu pemenang perang.

Sebagai bidak permainan catur, posisi Korea jadi semakin gawat ketika kedua negara pemenang perang tersebut malah terlibat perang dingin selama tiga dekade lebih.

Seharusnya, untuk mengantisipasi situasi pasca Perang Dunia II, yang utama diagendakan adalah terbentuknya Korea yang bebas merdeka, dan tidak di bawah kendali pemerintahan asing, apalagi harus dibelah jadi dua.

Namun apa mau dikata, terbelahnya Korea memang harus terjadi. Padahal, pada Mei 1945 Stalin sebenarnya sudah setuju gagasan Roosevelt ketika di Yalta bahwa Korea akan ditangani melalui perwalian empat negara: Amerika, Soviet, Inggris dan Cina.


Fase Konsolidasi Dua Korea 

Begitulah. Di Korea Utara, Kim Il Sung yang dalam Perang Dunia Kedua berperang bersama tentara Soviet, kemudian diminta menyusun kekuatan yang didominasi oleh kaum komunis. Maka dibentuklah Majelis Rakyat Tertinggi Korea (Utara) yang kemudian bertugas membuat komisi untuk merancang konstitusi. April 1948, rancangan konstitutsi diterima.

September 1948, Kim Il Sung dikukuhkan sebagai Perdana Menteri Korea Utara melalui Sidang Majelis Rakyat Tertinggi, setelah sebelumnya menerima dan meratifikasi rancanfgan konstitusi.

Sementara itu di Korea Selatan, pemerintahan militer Amerika di bawah pimpinan Letjen John Hodge, mulai pembentukan satuan cadangan kepolisian dan merintis pembentukan tentara nasional.

Bagi Amerika sejak kemenangan sekutu dalam Perang Dunia Kedua, memandang Korea telah menjadi tempat uji coba, testing ground  antara kubu demoraksi versus komunisme. Karena itu masuk akal jika Amerika kemudian semakin protektif terhadap Korea.

Buktinya, sejak 1949, Presiden Truman mendesak Kongres Amerika untuk menyediakan bantuan jangka panjang bagi Korea Selatan, baik untuk ekonomi maupun pertahanan.

Sekadar informasi, Korea Selatan ketika memiliki 98.000 personel militer, namun dengan peralatan militer yang seadanya dan serba kekurangan perlengkapan senjata.

Sebaliknya Korea Utara, pada 1946 Soviet telah berhasil mengorganisasikan sekitar 20.000 satuan polisi dan tentara. Dan Agustus tahun itu juga, Tentara Korea Utara resmi terbentuk.

Namun dari sisi kesungguhan, Soviet nampaknya lebih serius dalam memberi bantuan militer kepada Korea Utara dibandingkan Amerika kepada Korea Selatan. Meski tentara Soviet di Utara hanya 150 personel, sementara Amerika di Selatan 500 personel, namun Soviet lebih sungguh-sungguh dalam menyediakan peralatan militer berat, termasuk pesawat terbang, dan tank.

Sehingga ketika pecah Perang Korea, pihak Utara sudah memiliki 135.00 pasukan bersenjata lengkap ditambah brigade tank. Angkatan udaranya memiliki 40 pesawat tempur YAK, 70 Ilyushin Sturmovik 11-10 dan pembom tempur Lavochkin LA-9, serta 60 pesawat latih YAK.

Pada 1950, Cina juga mengirim kembali ke Korea Utara sekitar 12.000 pasukan Korea berpengalaman, yang semula bergabung bersama Cina dalam perang melawan Jepang.

Lalu mengapa Korea Utara berani menyerang Korea Selatan? Nampaknya pidato Menteri Luar Negeri Amerika Dean Acheson pada januari 1950 dinilai cukup memprovokasi Korea Utara. Dalam pernyatannya, Acheson menegaskan bahwa perimeter pertahanan Amerika di Pasifik memanjang dari Kepulaian Aleut, lalu Jepang, hingga kepulaian Ryuku dan Filipina.

Jadi, Amerika sama sekali tidak menyebut-nyebut Korea. Nampaknya Menlu Acheson maupun para pembuat kebijakan keamanan nasional Amerika tidak peka terhadap krusialnya masalah Korea. Karena justru pidato Menlu Amerika yang menafikan Korea inilah yang memicu Korea Utara akhirnya menyerbu Korea Selatan pada 25 Juni 1950.

Maka terkejutlah para petinggi Amerika, namun situasi sudah terlambat untuk dicegah. 28 Juni 1950, invasi Utara berhasil menghabisi tentara Korea Selatan di sungai Hans. Dan Seoul ibukota Korea Selatan pun jatuh.

Dalam situasi genting itu, Amerika terpaksa menurunkan kekuatan penuhnya membantu tentara Korea Selatan  yang sudah hancur lebur tersebut.

Singkat cerita, setelah menempuh berbagai tahapan yang cukup genting, Angkatan Udara Amerika dengan keunggulan teknologinya, berhasil menetralisasi gerak laju pasukan Korea Utara yang sementara itu sudah mendapat dukungan penuh Soviet dan Cina.

Melalui siasat militer Jenderal Douglas McArthur, Penguasa militer Amerika di Asia Pasifik dan pahlawan Perang Dunia Kedua, maka secara militer Amerika berhasil memukul mundur Korea Utara dari Seoul. Meski dengan korban jiwa yang cukup besar.

Bahkan Amerika dan pasukan PBB kemudian berhasil memaksa tentara Korea Utara melintasi sungai Yalu, dan munduir ke wilayah Korea Utara.

Nah di sini ironi muncul. Pasukan sekutu yang sekaran mengambil inisiaitif penyerangan, dihadapkan pada peluang untuk melancarkan gempuran langsung ke wilayah Korea Utara. Namun resikonya, Amerika akan mendekati perbatasan Korea Utara-Cina, yaitu Manchuria. Sehingga akan memicu Cina terjun dalam kancah perang membantu Korea Utara.

Skenario ini rupanya tida diperhitungkan Amerika, sehingga pada perkembangannya justru memicu konflik antara Presiden Truman dan Jendral McArthur.

Namun Truman yang nampaknya lebih memperhitungkan aspek-aspek non-militer dibanding McArthur yang semata-mata mengikuti logika militer, memutuskan untuk menghentikan gerak laju tentara Amerika yang bermaksud menyerang balik Korea Utara, untuk mencegah perang terbuka Amerika versus Cina.

Sementara McArthur yang menilai inilah momentum untuk menaklukkan Korea secara keseluruhan melalui serangan balik ke Korea Utara, justru berpendapat tentara Amerika harus melintasi sungai Yalu dan menyerbu Korea Utara. Tak perduli apakah Cina akan membantu Korea Utara atau tidak.

Dalam sistem Amerika yang menganut supremasi sipil, apa boleh buat McArthur harus mengalah kepada Truman, dan mundur dari dunia ketentaraan.

Maka, Truman memutuskan pasukan Amerika berhenti sebelum melintasi Sunggai Yalu, dan membangun perimeter yang dikenal dengan nama 38th.

Tidak ada komentar: