Kamis, 11 Desember 2008

Redaksi Pelaksana Lenteramuda Semeja Makan dengan Laksamana Sukardi

Laksamana Sukardi, PDP Tidak Akan Koalisi















Lenteramuda Gandeng BEM KM UGM Hadirkan Laksamana Sukardi
Ir. H. Laksamana Sukardi, Koordinator PKN PDP jadi Pemateri Diskusi Publik "Nasionalisasi Aset-Aset Strategis Bangsa"


Lenteramuda menjalin kerjasama dengan BEM KM UGM mengadakan diskusi publik yang cukup prestisius pada Selasa, 9 Desember 2008. Acara diskusi publik itu mulai jam 08.00 sampai 12.00 WIB, bertempat di Auditorium Fakultas Pertanian UGM.

Laksamana Sukardi yang juga masuk bursa Capres RI 2009 dari Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) memaparkan konsep pengeloaan Aset-Aset Strategis Bangsa. Ia dipanelkan dengan pembicara lain, yaitu Marwan Batubara, anggota DPD RI.
Acara itu juga dipanaskan dengan panelis dari calon Presiden BEM KM UGM, dimana itu merupakan rangkaian dari masa kampanye Pemilu Raya Mahasiswa UGM.
Lenteramuda dan BEM KM UGM akan mengundang tokoh-tokoh politik Jogja, perwakilan mahasiswa Perguruan Tinggi Se-Jogja serta Ketua KPUD Prov. D.I. Yogyakarta dalam acara tersebut.

" Ruangan diskusi mengalami overload, karena antusiasme publik Jogja menyambut kedatangan Ir. H Laksamana Sukardi yang baru saja bebas dari penyelidikan kasus VLCC oleh Kejaksaan Agung (keluar SP3). Ini diluar predisi kami", jelas Drs. Mustiko Laut Pimpinan Redaksi Lenteramuda.
"Dan kiranya dalam forum ini Pak Laks bisa lebih mantap untuk maju dalam bursa Capres RI jika PDP menang Pemilu 2009", tambah Mustiko Laut yang juga Pimpinan Kolektif Provinsi PDP Yogyakarta.

PDP Tak Akan Berkoalisi
Kepercayaan diri Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) cukup tinggi. Itulah yang ditunjukkan oleh Koordinator Pimpinan Kolekstif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) Laksamana Sukardi.
Laksamana mengatakan dalam pemilu 2009 nanti, PDP tidak akan berkoalisi dengan partai lain. Sebab, jika PDP berkoalisi dengan partai lain itu artinya PDP sama saja dengan partai lain. Tidak memberikan pencerahan bagi kepemimpinan Indonesia.
" Kalau PDP mengekor dengan partai lain, PDP lebih celaka lagi. PDP akan sulit meraih dukungan masyarakat ", kata Laksamana Sukardi kepada wartawan usai menghadiri acara seminar Nasionalisasi Aset-Aset Strategis Bangsa di Auditorium Fakultas Pertanian UGM.
Laksamana menibaratkan pemilu sama halnya dengan sebuah pertandingan sepakbola. Baginya, pemilihan legislatif merupakan babak kualifikasi sebelum masuk ke babak semifinal, dimana partai yang lolos electhoralthreshole dan parlementarythreeshole akan dapat mengajukan Capres. Untuk itu, pihanya akan berusaha keras agar PDP mendapat suara signifikan di kursi legislatif. (yuyuk/jerry)

Kamis, 30 Oktober 2008

Makan Korban


Awal mula kita mengemas media ini sungguh mengalami kesulitan. Terutama menentukan rubrik-rubrik yang akan mengisi majalah ini.
Bahan liputan dari tema yang ditentukan sudah terpenuhi semua. Namun yang jadi persoalan, pada rubrik mana kita akan tempatkan tulisan-tulisan ini.
Sementara dalam rapat redaksi belum diputuskan penetapan nama rubrik berdasarkan jenis tulisan, isi dan narasumber. Rapat redaksi lebih didominasi bahasan tentang kapan akan terbit, jumlah halaman yang pas, serta anggaran yang disediakan per terbitan.
Beberapa redaksi mengalami tekanan yang luar biasa. Banyak tulisan dan bahan untuk mengisi majalah tapi bingung untuk menempatkannya.
Sebagian redaksi mengalami demam panggung gara-gara hal itu . Mereka kurang “pede” melihat hasil tulisannya. Apakah ini sudah layak dimuat atau tidak, menjadi headline, pelengkap dan sebagainya.
Di lain sisi kegiatan editing untuk sementara dihentikan. Karena setelah melakukan pengamatan dari tulisan yang telah dimuat di blog, ternyata hasilnya dianggap kurang memuaskan.
Teman-teman yang berada di Litbang juga tidak kalah pusingnya. Merekalah yang bertanggungjawab memberikan rekomendasi yang cocok dan inovatif tentang pengemasan media ini. Mereka melakukan usaha studi banding dengan mengumpulkan, mencari dan menganalisa media-media cetak baik harian, mingguan, dan bulanan yang setipe. Baik dari segi konten (muatan), gaya bahasa sampai pada layout-annya. Tapi tak mendapatkan hasil yang menggembirakan.
Hasil survei dan verifikasi juga tak membuahkan hasil. Redaksi tetap saja dihantui perasaan bingung luar biasa.
Hingga detik-detik menjelang deadline, redaksi pelaksana yang harus putar otak molak-malik. Karena tanggungjawab atas terpenuhinya redaksi menjadi hak miliknya. Baik penentuan tema, pembagian jumlah newsroom dan iklan. Dan jika perlu mengontrol tugas masing-masing redaksi.
Latar belakang, pengalaman dan lingkungan ternyata menjadi faktor penentu seseorang mengambil keputusan. Tapi juga tidak terlepas daripada situasi dan kondisi, serta kebutuhan.
Latar belakang dan pengalaman menjadi jurnalis kampus membawa pada keputusan untuk menyajikan media ini sesuai dengan perspektif masing-masing redaksi dan pembaca. Proses redaksi dibangun dengan asas kemitraan dan partisipatif antara redaksi dan pembaca.
Menurut redaksi pelaksana, nama rubrik sebaiknya menggunakan bahasa-bahasa yang tidak lazim (tidak formal), kalau bisa memakai bahasa yang dekat dengan kehidupan sehari-hari pembaca. Secara psikologi massa orang akan merasa dekat karena ada kedekatan hubungan emosi.
“Sama pengalaman saya menetapkan nama rubrik dengan memakai kosakata nyleneh tapi cukup menggambarkan bahwa bacaan ini punya karakter dan mewakili mereka yang membacanya”.
Akhirnya untuk pertama kalinya Lenteramuda memakan korban masa lalu dari kehidupan redaksi pelaksana.
Dan insya Allah muatan tema dan penetapan rubrik ini mewakili karakter pembaca sekalian. Moga-moga edisi bulan Oktober redaksi mendapat santapan yang inovatif sekaligus menggelitik.
“Who gets what, when, how” tunggu kami.

Masjid Syuhada

Masjid Syuhada sebagai salah satu ikon dari Jogjakarta tidak banyak dikenal masyarakat di luar kota Jogkakarta. Mereka mengenal Jogja dengan Malioboro.
Masjid Syuhada merupakan salah satu bagian penting atas keberadaan kota Jogja. Masjid Syuhada merupakan salah satu peninggalan sejarah sekaliigus monumen sejarah.
Masjid Syuhada didirikan dengan latar belakang politis, yaitu keinginan Pemerintah Republik Indonesia untuk meninggalkan kenang-kenangan sekaligus monument bagi warga Jogjakarta. Monumen bagi mereka yang telah ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ide pembangunannya diprakarsai oleh MR. Assaat (Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) dan sejumlah menteri era Presiden Soekarno. Seperti Mr. Syafrudin Prawiranegara, K.H Wahid Hasyim, K.H Masykur, Z.A Ahmad dll.
Seperti diketahui, karena kegentingan politis dan keamanan, ibu kota Republik Indonesia di Jakarta untuk sementara dipindahkan ke Jogjakarta mulai tanggal 6 januari 1946. Pemerintahan dijalankan di Gedung Agung Jogjakarta, dekat pasar Beringharjo atau di sebelah utara keraton Jogjakarta.
Selain itu, alasan historis-politis, pendirian masjid Syuhada dilatarbelakangi pula oleh keinginan untuk melestarikan jiwa perjuangan. Tidak dalam bentuk tugu peringatan atau monumen melainkan masjid. Alasan lain yaitu keinginan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat akan tempat ibadah.
Ada tiga persyaratan yang dikemukan oleh para pemrakarsa pendiriannya, yaitu sesuai dengan sifat perjuangan bangsa Indonesia, sesuai dengan kebudayaan Indonesia, dan bisa menjadi peringatan yang senantiasa hidup dan terhidupkan sepanjang masa.
Simbolisasi Proklamasi
Pemilihan tanda peringantan berupa masjid dianggap tepat oleh banyak kalangan baik dari Indonesia maupun dari luar negeri. Karena tidak ada tanda peringantan yang melebihi kebernilaian sebuah masjid. Dan tidak ada tempat lain yang lebih tepat daripada sebuah masjid untuk mengabadikan jiwa kejuangan para syuhada itu.
Masjid Syuhada mulai dilakukan pembangunannya di Kota Baru pada tanggal 23 September 1950 dan diresmikan penggunaanya pada tanggal 20 September 1952 oleh Presiden Soekarno. Pemilihan lokasi di Kota Baru untuk memberikan perhargaan atas peristiwa Pertempuran Kota Baru. Selain itu lokasinya juga terletak di lembah Kali (sungai) Code, sungai yang membelah bagian tengah kota Jogjakarta.
“Itu tempat berjuangan melawan Jepang, ada 18 orang) yang gugur di sekitar Kota Baru, ujar RM. Tirun Marwito, Ketua Pengurus Masjid Syuhada. .
Itu terjadi pada 7 Oktober 1945. Waktu itu pemuda-pemuda kita ingin melucuti tentara Jepang. Hal itu dilakukan para pemuda kita untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangkan proklamasinya 17 Agustus 1945.
Bangunan Masjid Syuhada terdiri dari tiga lantai. Jika di lihat dari depan atau arah timur (dari Jalan I Nyoman Dewa Oka), lantai pertama sejajar dengan jalan. Di atas terdapat satu lantai namun seolah hanya dua lantai karena lantai dasar tidak nampak.
Jika dilihat dari belakang (dari arah jalan Amat Jazuli, tepi Kali Code), atau dari arah sudut barat dan sudut selatan, bangunan tampak tiga lantai. Dimana lantai pertamanya sejajar dengan jalan Amat Jazuli.
Atap masjid terdiri dua tingkat. Di bagian atas, sebagai puncak masjid, terdapat kupel (mustoko) besar sebagai kubah utama masjid. Di bagian bawahnya terdapat empat kupel kecil di sudut-sudut atap masjid.
Masjid Syuhada mempunyai arsitektur design yang melambangkan momen proklamasi kemerdekaan. Itu diletakan pada struktur bagunan anak tangga dan gapura masjid. Angka 17 disimbolkan dengan anak tangga yang berjumlah 17. Sementara bulan Agustus disimbolkan dengan pilar (tiang) gapura yang mengapit tangga sebelah depan, yang sengaja dibuat segi delapan. Tahun proklamsi disimbolkan dengan empat buah kupel (mustoko) kecil di empat sudut atap bagian bawah, lima kupel di atap bagian atas.
Kok di Kota Baru
Penempatan Masjid Syuhada di Kota Baru bukan tanpa alasan yang filosofis dan strategis. Itu tempat berjuangan melawan Jepang, ada 18 orang yang gugur di sekitar Kota Baru, terjadi pada 7 Oktober 1945. Waktu itu pemuda-pemuda kita ingin melucuti tentara Jepang untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangkan proklamasinya 17 Agustus 1945.
“Mereka meninggal di sekitar Kota Baru ini. Maka ini antara lain salah satu mengapa kok di sini, kebetulan juga tanah ini mudah dibebaskan oleh karena ini tanah keraton. Pada waktu itu Pak sultan merelakan tanah ini digunakan untuk mendirikan Masjid. Dan letaknya bagus sekali, pemandangan yang berada di sekitar ini lebih indah dari sekarang, bisa melihat gunung merapi” papar Pak Tirun.
“Untuk mendirikan tempat ibadah itu harus diletakkan pada tempat yang lebih tinggi”, tambah Pak Tirun.
Sepak Bola dan Kerukunan Beragama
Pendirian Masjid Syuhada pada mulanya berawal dari keinginan seorang penggemar sepak bola yang 'fanatik' Islam, yang sering bermain sepak bola di Kridosono, Haji Mu'amal. Keinginannya tersebut disampaikan dalam logat Jogja, kurang lebih seperti ini.
“Lha kalau di Kridosono ini diadakan bal-balan (sepakbola), lalu orang pada main bal-balan dan pada nonton bal-balan akan sembahyang Ashar dimana dan pada sembahyang maghrib dimana?”.
Kemudian teman bicaranya , Haji Suja' menimpali, “Lha, ya iya dimana? Wong nggak ada masjid, je.” Keinginan itu lalu disampaikan pada pemerintah Jepang yang pada waktu berkuasa.
Untuk mengambil hati orang Indonesia, pemerintah Jepang memberikan ijin sebuah gereja Protestan yang kosong dan tidak dipakai lagi dipakai untuk sholat. Gereja itu bernama Geraja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Namun pada waktu Belanda menguasai lagi Yogyakarta, orang-orang tidak mau lagi menunaikan sholat di gereja tersebut.
Lalu timbul persoalan lagi. “Mau pada sembahyang Ashar dimana, mau sembahyang Maghrib dimana ?” celotehan H. Muammal, Ketua Panitia Pertama pendirian masjid.
Kemudian pada saat pemerintahan Indonesia hijrah ke Jogjakarta, persolan itu disampaikan kepada beberapa staf pemerintahan diantaranya Mr. Assaat.
Diberikan Yasma
Selanjutnya pengeloalan Masjid Syuhada di diserahkan dari panitia pendirian (Mr. Assat) kepada YASMA ( Yayasan Asrama dan Masjid), yang kemudian dikenal dengan Yasma Syuhada. Amanat pembentukan Yasma adalah untuk membimbing pertumbuhan rohani dan jasmani pemuda Indonesia menuju pembangunan angkatan baru yang berjiwa Islam.
Untuk anak-anak Yasma melakukan kegiatan pendidikan dengan label Pendidikan Anak-anak Masjis Syuhada (PAMS), taman Kanak-kanak Masjid Syuhada dan Sekolah Dasar Masjid Syuhada. Bagi pemuda-pemudi Yasma menyelenggarakan Pendidikan Kader Masjid Syuhada (PKMS).
Khusus dalam seni baca Qur'an, Yasma menyelenggarakan berbagai macam pendidkan melalui Lembaga Pendidikan al Qur'an Masjid Syuhada (LPQMS). Selain itu Yasma juga mendirikan perguruan tinggi dengan nama Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Masjid Syuhada (STAIMS).
Syuhada Menghadapi Perubahan Jogja
Menyikapi perubahan yang ada pada kondisi masyarakat Jogja, menurut M. Hanif Sekertaris Pengurus Masjid Syuhada, Yasma mengambil peran pada kelompok masyarakat miskin secara ekonomi dan pendidikan. Dengan memberikan dan mencarikan beasiswa bagi keluarga tidak mampu.
“Sekolah-sekolah di bawah Yasma menampung 5% dari siswanya untuk kelompok msyarakat ini, jelas Hanif, yang juga dosen Fakultas Arsitektur YKPN.
Selain itu juga mendirikan LAZIS dan membangun unit-unit usaha melalui kegiatan kegitan ibu-ibu di desa-desa binaan.
Sebagai masjid kader, Masjid Syuhada terus memperbaiki mutu pendidikan dan kemampuan dakwah kader-kadernya. Meraka disebar ke masjid-masjid Jogja. Mereka menyebar untuk mengembangkan dakwah Islamiah pada masjid-masjid lain di lingkungan Jogja.
Masjid Syuhada sebagai masjid dakwah dan pendidikan tidak bisa lagi mengandalkan tingkat kemakmuran masjid dari masyarakat setempat. Tentu saja pengembangan kearah wisata religius perlu dipikirkan mengingat keberadaan Masjid Syuhada sebagai peninggalan dan mnumen sejarah. (yrw & henhentauruz)

Tumpengan Lenteramuda


Terbit perdana dalam edisi cetak Majalah Lenteramuda, Perspektif Jogja disambut suka cita para redaksi. Setelah empat bulan hanya terbit lewat dunia maya.
Tentusaja ini menjadi sebuah catatan tersendiri bagi Penerbitan Pers Independen Lenteramuda yang menaungi Majalah Lenteramuda. Dengan usia rata-rata dibawah 25 tahun, Redaksi Lenteramuda punya keberanian dan semangat kerja keras tinggi. Apalagi dihadapkan pada persaingan belantara dunia bisnis jurnalistik yang anarkhi.
“Wis pokokke lillahi taala, maju patang mudur. Ini bukan nekat tapi ini adalah pembuktian bahwa yang muda saatnya berkarya dan berkarya” ungkap Nur Elly Saputra, redaksi IT, yang tergila-gila sama Linux.
Inilah wujud dari komitmen generasi muda ikut andil dalam membangun dan menentukan peradabannya. Jangan sampai arus yang kencang ini membawa semua kearah yang tidak menentu.
Kenekatan dan wajah penuh optimis diperlihatkan Andaruno Jati Laksono, Marketing Lenteramuda. “Awake dewe ki kudhu tampil beda dan percaya diri. Sing penting tetap komitmen bangun idealisme tapi juga fleksibel dan independen kudu mengiringi” menguatkan semangat Redaksi Lenteramuda.
Bancaan Jajan Pasar
Sebagai insan beragama dan berakidah, Redaksi Lenteramuda juga memajatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Tanpa hidayah dan karunia Nya tidak mungkin komitmen dan kerjasama untuk menghidupkan sampai sekarang, bahkan dapat terbit cetak.
Karena kebanyakan Lenteramuda dihuni orang Jawa, mereka menggelar berdoa bersama dengan format bancaan jajan pasar. Doa bersama dengan sugguhan berupa aneka warna jajanan tradisional yang dibeli dari pasar.
Sempat eyel-eyelan antarredaksi, memilih tumpengan atau bancaan jajan pasar. Pertimbangan kesederhanaan, kehidmatan dan pengiritan maka dipilih bancaan jajan pasar. Sekaligus nguri-nguri kabudayan Jawi, yang termasuk komitmen konten dari Majalah Lenteramuda.
“Tumpengan dah umum, tidak hanya orang Jawa tapi dah nasional. Sing bedo wae lah. Yo sekali-kali mlebu pasar, ojo nang mall wae”, perkuat Suhendri, Hendriawan dan Deko, Redaksi Lenteramuda yang lain. (jry, henhentauruz & dd)

Jumat, 05 September 2008

Lenteramuda Dampingi Disertasi Mahasiswa Jepang


Yuyuk (kiri), Redaksi Lenteramuda dan Yuki (kiri urutan ke 3) foto bareng bersama Pengurus Masjid Syuhada

Bulan Ramdhan pernuh berkah, insyaallah benar adanya. Hal itu paling tidak dirasakan oleh Redaksi Lenteramuda. Tanpa dinyana, waktu berkunjung ke Masjid Syuhada, eh ada tawaran untuk mendampingi desertasi.
Pertama kita kaget, masyaallah ko bisa kita ditunjuk? Padahal SDM kami tidak cukup mumpuni dalam hal itu. Eh ternyata, kita diminta untuk memambantu salah satu mahasiswa asal Jepang yang akan melakukan riset di Indonesia.
Kebetulan kemaren, Jumat (05/09)pas Redaksi Lenteramuda mewawancarai Pengurus Masjid Syuhada, Yuki (26 th), mahasiswa Negeri Matahari Terbit tersebut berkunjung.
Setelah Pengurus Masjid, Mulyono (28 th) memberitahukan bahwa ada kunjungan mahasiswa Jepang, gayung bersambut kami pun tidak membuang kesempatan untuk ngobrol dan bereksplorasi dengan Yuki. Penguruspun memberikan kesempatan yang cukup leluasa untuk Redaksi Lenteramuda bertemu dengan Yuki di Masjid Syuhada sekitar jam 02.30 siang.
"Mas silakan saja ketemu sama dia dan bicara langsung tentang kunjunganya ke Masjid Syuhada", Mulyono, Pengurus Sekertariat Masjid Syuhada mempersilakan.
Wawancara kami dengan Mulyono seputar perjalanan masjid yang didedikasikan pendiriaannya sebagai monumen sejarah para Syuhada Jogja di Kotabaru selesai, kami segera bergegas menghampiri Yuki, tampak masih muda dan imut banget.
Perasaan kagok dan grogi muncul seiring dengan image orang Jepang. Kebetulan Redaksi kami tidak bisa berbahasa Jepang. Nekat saja dengan asumsi, para Pengurus saja lancar berkomunikasi, yang kedengaran dari jauh, berarti gadis Negeri Sakura itu pasti mengunakan bahasa Indonesia.
"Silakan Mas wawancarai Yuki" kata Pengurus Masjid yang lain.
"Ini wartawan Lenteramuda, ingin wawancara sama Yuki" tambah Pengurus mengijinkan kami kepada Yuki.
Kami asyik berbincang dengan Yuki, walau masih muda ia telah menempuh dan akan segera mendapat gelar Doktor. Luar biasa!
Kekaguman kami tidak berhenti di situ dengan usia mudanya, melainkan perihal penelitiannya. Ia mengambil penelitian yang cukup unik untuk ukuran mahasiswa luar negeri. Ternyata sebagai syarat mendapat gelar tersebut ia meneliti tentang metode pembelajaran Iqro'. Ia memilih Indonesia khususnya Jogja (Masjid Syuhada)sebagai sample penelitiannya karena masjid sebagai sarana pendidikan yang berbasis kerakyatan. Masyarakat secara swdaya membangun pendidikan bagi masyarakat itu sendiri tanpa harus tergantung pada pemerintah.
Di sela-sela wawancara dengan Yuki, kami juga menanyakan persepsi Yuki terhadap Islam di Jogja. "Islam asyik, kaya teman saya ini", ia menjawab sambil terseyum tersipu malu.
Dari situ berkah di bulan Ramadhan itu dapat dirasakan. Redaksi Lenteramuda dalam dua minggu akan menemani Yuki melakukan riset di Jogja. Kita tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Wah ini rejeki, selain mendapat ilmu juga bisa kenalan dan berteman dengan orang Jepang.
Sukses Lenteramuda, Pengurus Masjid Syuhada dan Yuki.

Rabu, 27 Agustus 2008

Berkat Tertawa

“Tertawalah sebelum tertawa itu bayar. Dan jangan menertawakan orang jika tidak ingin ada bekas hitam-kebiru-biruan di wajah mu. Terwa juga bikin saraf menjadi relex. Ada yang bilang berkat tertawa orang jauh lebih muda dari pada umurnya. Dari tertawa kita bisa belajar banyak hal”

Opsesi Tertunda

Untuk menulis memang butuh ketelatenan dan mental baja, pantang menyerah ditertawakan. Apalagi saya, mahasiswa yang mendalami ilmu ngomong dan bikin proposal apa aja, mau penelitiaan atau kegiatan.

Tentu sangat malu jika saya tidak mampu membuat tulisan yang dapat dibaca semua kalangan. Banyak nasehat dari teman-teman yang telah menerbitkan tulisannya menjadi buku. Selain dapet honor (tambahan uang saku) juga namanya pun sekarang amat terkenal walaupun itu hanya penerbit indie.

Saya tak mau kalah. Mungkin hasrat yang terlalu besar ini akan semakin mencekikku jika tak segera tersalurkan.

Hampir tiap hari berbagai buku kerap menjadi teman dekat (emang kamu ga punya gebetan). Kubaca dan mencari-cari permasalahan tertentu yang kiranya dapat saya analisis dari beberapa teori maupun konsep yang ada dalam buku yang terlahap.

Wah, ternyata menuangkan ide/gagasan dalam bentuk tulisan sulitnya bukan main. Padahal kalau saya ngomong sok ceplas-ceplos, seolah kaya air grojogan. Letak kesulitan bukan masalah tema dan ide menarik ga untuk dibaca orang. Melainkan dari mana kita akan memulainya. Kata apa yang harus saya pilih untuk mengawali sebauh paragraph. Lalu nyambung ga sih hubungan antarkalimat dan antarparagraf yang saya bangun.

Kadang juga hambatan penulis pemula tidak hanya di situ saja. Kebanyakan penulis pemula ini penya penyakit aneh. Ia selalu memandang penulis-penulis terkenal, yang sudah punya perbendaharaan kosakata kata yang banyak sekali. Pinginnya sekali nulis minimal 3 halaman, spasi satu lagi. Weleh-weleh, berapa sih buku yang ia lalap.

Ketiga kadang penulis pemula tidak bangga akan identitas diri sendiri. Bahkan tidak hanya gaya penulisan, idepun ia harus mengikuti/meng-imitasi penulis yang udah terkenal. Aduh biyung, masak baru kelas teri ngukur dirinya kaya penulis terkenal, bukunya yang dah best seller aja.

Saya pun sempat seperti itu. Satu tahun pertama di lembaga jurnalistik kampus, saya hanya nulis dua kali saja. Itupun seperempat dari newsroom yang disediakan. Ketok cilik banget, mungkin ga ada yang baca. Pada saat itu tulisan yang masuk dalam kategori hardnews dan straightnews. Cukup mengikuti aturan penulisan jurnalistik yang baku (5W+1H) selesai. Tapi konsekuensinya tulisan terasa garing. Bahkan sepat saya bikin seperti pers realize. Masyaallah…!

Mental gatutkaca dan jurus badak gila harus tetap dilakukan. Tahan banting dan bermuka tebal anti malu wajib hukumnya. Tahun pertama, saya tergolong merupakan redaksi baru yang lamban perkembangannya. Teman-teman seangkatan wah luar biasa. Mereka lumayan produktif dan kreatif dari segi ide dan variasi gaya tulisan.

Saya hamper saja patah arang, redaksi baru hanya ngisi du tulisan dalam dua edisi. “Sungguh terlalu”, (kata Bang Haji). Saya akui rekruitmen awal, semua redaksi baru wajib mengikuti diklat jurnalistik selama satu minggu hari, (seingat saya). Lha wong orang super cuek alias siji dewe, akhirnya saya ga ikut. Dampaknya saya tidak dapat tim untuk liputan, tepaksa liputan sendiri, nulis-nulis sendiri, tidur pun sendiri. Lho ko ngelatur nyanyi lagu Chacha Handika, padahal saya ga penggemar dangdut. Sok modern, liat saja kalo dikamar sendiri dengar alunan musik dangdut pasti pantat komat-kamit. Bahkan saya seperti jadi asing demngan teman-teman redaksi yang lain. Ya udalah memang nasib saya harus sendiri.

Jadi Pemberontak

Permasalahan tidak sampai di situ. Saya punya tanggung jawa moril karena dah menjadi warganegara yang mendedikasikan diri sebagai pelayan pemuas nafsu informasi dan isu warga kampus. Di sisi lain pingin unjuk gigi bahwa dengan sendiri pasti bisa. “Slogan SBY-JK itu duplikat dari saya itu” (aku yang narsis).

Sebelum saya melanjutkan cerita, ada sebuah pesan dari journalism. Journalism mempunyai subtansi menyampaikan informasi dan memberikan ulasan bukan ajakan (persuasi). Ketiak ada tulisan, berita dan ulasan semata-mata paparan. Entah nanti dampak dari isi dari karya journalism itu pahala dan dosa kita serahkan pada yang di atas. Dan juga bagaimana cara pembaca/khalayak menyikapinya.

Vakum setahun dari lembaga jurnalis kampus, lantas tidak membuat jadi orang tanpa aktivitas. Untuk sementara mengistirahatkan usaha adaptasi yang butuh perjuangan keras. Tetapi satu prinsip yang terus saya pegang, jangan sampai selekasi alam itu memakan korban saya.

Kuliah menjadi agenda rutin dan wajib saya ikuti. Soalnya ketat banget kampus milik pemuja simbol matahari menerapkan presensi 70 persen kehadiran. Kejam banget. Jiwa pemberontakan lahir dimulailah dari situ. Mengapa sih kebijakan itu harus diberontak? Banyak alasan yang tidak logis dan punya hubungan yang signifikan terhadap prestasi mahasiswa atau pun dalih penciptaaan iklim akdemik yang sehat di kampus.

Orang awam/ pengamat pendidikan boleh lah bilang itu langkah yang baik, hitung-hitungan secara teoritis. Bagi saya dan beberapa teman yang se-ideologi mengatakan tidak (baca dengan suara lantang). Mengapa demikian?

Perilaku social dalam konteks interaksi social bukanlah angka matematis dan sudah terajawab dengan teori baku. Oke, memang ada paradigma epistemology sebuah disiplin sosial yang mengatakan bahwa gejala sosial itu bisa bersifat kuantitatif karena punya kejegan. Bagi saya keajegan memang benar adanya. Tetapi keajegan itu mempunyai keunikan tersendiri karena motif, latar belakang dan konsisi lingkungan social yang berbeda.

Presensi 70 persen mungkin mutlak bagi pelajar/kaum didik pada disiplin dan tingkatan pendidikan tertentu. Oke lah 70 persen tapi itu merupakan sangsi moral saja. Kalau jika tidak memenuhi kuota kehadirran kuliah sampai seperti itu namanya pemaksaan. Dampak bukan positif tapi justru jadi boomerang bagi kualitas iklim akademik itu sendiri.

Bagi mahasiswa kuliah bukan merupakan kewajiban melalinkan kebutuhan. Dari awal ia kuliah, jadi kebutuhanya ya belajar. Dan masuk kuliah itu sudah menjadi fitrah. Tetapi kan tidak harus dikuatitatifkan. Faktanya, banyak teman-teman masuk kuliah bukan mengejar ilmu yang disampaikan pada perkuliahan, melainkan mengejar tandatangan presensi. Justru ini menjadi kontra produktif dari tujuan awalnya.

Pada waktu itu tiap kelas diisi 60-50 mahasiswa, apa yang terjadi? Satu sampai empat kali pertemuan kelas terisi penuh kehadiran mahasiswa. Setelah itu mereka gentian titip tanda tangan.

Alangkah baiknya, sebuah ;lembaga pendidkan tidak usah membuat indicator kuantitatif yang terlalu represif. Batasan kehadiran tidak menjadi acuan prioritas dalam perkuliahan. Tapi jika perpustakaannya ramai dikunjungi, banyak kelompok diskusi dan riset, seminar publik kerap diselenggarakan, kompetisi akademik baik kegiatan UKM maupun karya ilmiah tinggi tingkat partisipasi, justru ini menunjukkan indikator iklim akdemik yang sehat.

Dari mana seorang pelajar cerdas dan peka hanya dari presensi. Sementara perpustakaan kosong, tidak ada gairah diskusi, minim karya dan gerakan kreatif. Di lain sisi dosen mengajar cukup penjadi peraga silabus yang dah disediakan dan menyuruh mengumpulkan tugas, sementara ia lebih semangat ngobyek di luar. Ada yang jadi artis, jadi peneliti opurtuniti (bikin proposal karena ngejar dana hibah, tau-tau beli mobil dan punya rumah mewah. Kalau perlu wayoh). Dah biaya kuliah dan sekolah mahal tapi tidak ada jaminan mutu. Itulah potret lembaga pendidikan saya, dan mungkin juga fenomena itu berlaku di hampir semua lembaga pendidikan, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Lembaga pendidikian ibarat barang komoditi (dagangan) yang mempetaruhakan topeng citra-nya yang sudah kadong apik (balelo banget yo).

Itulah yang membuat saya lari sementara ke gerakan mahasiswa. Kalau hanya koar-koar sendiri bisa kehabisan suara. Dan bsia saja mengalami pemakzulan/ recall/pergantian antarwaktu (PAW). Weleh kaya jadi anggota dewan saja. Enak kalau saya berokoar-koar melalui gerakan mahasiswa, mesti lumayan diperhatikan dan ada yang dukung. Kurang lebih bertahan dua tahun.

Iseng mau Buka Youtube malah Tertawa

Begitu penat kehidupan kampus yang cenderung datar, stagnan, hipokrit dll, saya mencari tempat pelampiasan. Dari pada pikiran sumpek, mumet dan klieng-klieng trus jemblug mending pegi ke warnet.

Biasa cah lanang ki golekane dan hiburane wis podho ngertine lah (pengertian antarjampemete). Cari warnet yang cepat aksesnya, karena ini buka situs dengan konten aneka satwa liar maupun jinak ada di situ. Buka aja situs Youtube. Uwis telung jam ra kroso (dikit, cuma habis Rp. 9000,-). Murah ekonomis kepuasan terjamin. Bawa flashdisk atau eksternaldisk “sent to”, putar sendiri di kamar kos. Terbawa sampai tidur.

Itu masih wajar seorang dalam stressing tingkat tinggi ia alihkan ke situ. Banyak teman-teman lain yang menempuh jalur ekstem sebagai problem solving-nya. Entah itu narkoba, dugem, minum-minuman keras, bahkan samapi freeseks dll. Hal itu mudah saja ditempuh di Jogja ini. Gaya hidup perkotaan modern mirip New York telah menyediakan itu semua di Jogja. Dan secara sosiologi, interaksi masyarakat Jogja ini dibangun oleh kawula muda. Jadi penilitian Iip Wijayanto bisa jadi merupakan sebuah realitia Jogja saat ini. Namun tingkat akurasi, realibiliti dan validiti perlu diuji.

Kita dapat melihat secara kasat mata untuk menganalisa tentang dinamika interaksi yang dibangun masyarakat Jogaja saat ini. Kehidupan mall dan malam insomnia ekstasi lebih semarak daripada kehidupan yang beriklim akademi dan beradab.

Hasrat untuk bisa menulis dengan baik dan menarik masih menjadi semangat hidup. Berdasarkan kemapuan realitas dan ideal, hanya inilah potensi sekaligus kekuatan ketika saya menutuskan dan menempuh jurusan ilmu hubungan internasional. Hampir saya belajar tentang teori-teori high politic dan low politic, dan itu lebih deteminan pada penguasaan pengetahuan dan pemahaman sejarah. Dan yang paling mutakhir mempelajari ideologi dan isu/wacana internasional. Artinya karakter yang dibangun dalam displin ilmu hubungan internasional menjadikan mahasiswa mampu untuk medskripsikan, menganalisa, memprediksi dan membuat preferensi atas fenomena sosial baik nasional dan internasional.

Otak dan nurani seakan terus menguap, seolah mempercepat laju kereta diskrusif. Baca koran dan cepat update buku (shopping) menjadi mutlak. Udah, ga baca koran dan baca buku dalam tempo satu minggu, mungkin anda bisa dianalogikan seperti petualang kehilangan kompas. Lhonga-lhongok….. (tulalit 3x, ngekngok).

Data-data yang terkumpul ini sekan satu sama lkain saling mendesak untuk keluar. Kepala semakin panas setelah melahap isi koran. Hati resah, sulit tidur, isinya cuma cungkir balik ga jelas apa yang dipikirkan. Keresahan hebat melanda, insomnia kesepian seolah jadi potret baru kamar. Gimana pacar ga punya, trus juga dah sepet lihat tapang teman-teman yang makin ga jelas ketika menjelang tanggal 20-an ke atas.

Tanpa diduga salah seorang dosen mata kuliah tertentu memberikan tugas makalah. Minggu depan makalah tersebut langsung dipresentasikan. Dalam hati, ini adalah kesempatan untuk mengungkapkan dan mengeluarkan isi kepalaku. Dengan ‘pede’ rangkaian kata mengalir deras bak air dari gunung. Tempo semalam makalah tersebut selesai dengan pas lima halaman. Betapa senang hatiku, melihat tulisan yang sebegitu banyaknya. Baru kali pertama saya menulis sebanyak itu.

Keesokan harinya dengan langkah optimis, seperti Olif mau menyatakan cintanya ke Asri. Ia ga sadar kalo Si Asri yang merupakan bunga kampus juga ditaksir banyak mahasiswa lain. Termasuk sahabatnya sendiri. Saat ditanya dosen, siapa yang mau presentasi duluan? Dengan lantang, “saya Bu”. Tidak usah saya gambarkan saat presentasi. Tetapi dijamin dapat apresiasi yang luar biasa, baik dari dosen dan teman-teman mahasiswa. Maklum kompetisi untuk menerapkan watak anatomi gathukaca dan jurus badak gila masih sangat rendah. Paling gak satu kelas hanya beberapa mahasiswa yang selalu dominan menguasi forum kelas. Kondisi itu berlajut hingga semester enam. Bayangkan saja stagnan, datar dan garing tanpa ada perlawanan yang berarti.
Namun ke-‘pede’-an itu menjadi drama yang membalikan keadaan ketika kumpulan makalah dan tulisan lain saya sisipkan ke media kampus maupun kirim ke media bisnis. Ternyata tulisan itu menduduki ratting rendah, tapi ga redah amat. Kronis ketika tak satupun tulisan yang terkirim ke media cetak : Kompas, KR, dan Bernas tidak ada satu yang dimuat. Sungguh mengiris hati.

Masih di warnet untuk sent to membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam. Video itu tidak saya putar di warnet tsb.melainkan nunggu sampai rumah. Biar rasa penasaran dan hasrat semakin tinggi. Iseng-iseng sambil nunggu saya buka saja blog milik salah satu redaksi senior lembaga jurnilisk tempat ku bernaung.

Terbukalah donlenon.blogspot.com. Bahak tawa ini seakan tak terbentung lagi dengan tulisan, artikel, feature, dan gambar unik yang ditampilkan. Apalagi blog itu ber-design apik dan interaktif, lain daripada yang lain. Saya merasa refresh malam itu. Dapat video syur, juga dapat banyolan pedas dan jenaka gaya slank Jogja yang jarang-jarang muncul selain Kelik.

Gara-gara kejadian semalam itu, memuat saya sadar bahwa untuk menulis perlu sebuah methode atau cara pendekatan terhadap kapasitas dan kemampuan diri. Selain itu juga melihat segmen pembaca.

Tulisan lucu, slengehan, dan penuh banyolan bukan berarti tanpa nilai dan tidak serius. Justru itu, telawat karya yang interaktif itulah pesan dapat sampai kepada pembaca. Meski dengan tertawa. Ha..ha..ha.haaaaaa….

“Selamat tertawa dan hidup manusia yang mendedikasikan diri untuk selalu tertawa”

(Hahahaha…!!!)

To be continue……

Politik Dan Aku (Bisikan Hati Nurani Baik ataukah Salah)


Pada Pemilu 2009 mendatang PDP dianggap partai yang paling layak dan representatif memimpin. Mengapa? Berdasarkan berbagai lembaga survey seperti PusDeHam Unair dan IndoBarometer yang menyebutkan PDP adalah partai baru paling populer. Hasil survey dua lembaga penelitian yang kredibel itu serta merta mendapat pembenaran di lapangan. Lihat saja ketika gerak jalan dan berbagai acara PDP, ratusan ribu pendukung dari berbagai lapisan masyarakat berdatangan. Karena kecintaan dan harapan mereka pada PDP.

Sekretaris Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Provinsi Partai Demokrasi Pembaruan (PKP PDP) DI Yogyakarta Drs. Mustiko Laut menyebutkan PDP memang layak dikategorikan sebagai partai paling populer, bukan hanya populer, tapi partai alternatif pilihan rakyat sekaligus pengganti partai lama.

“Parpol lama itu tidak sadar kalau rakyat sudah tidak percaya. Dari setiap periode pemerintahan yang dikuasai partai lama terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Justru hidup mereka bertambah susah seiring naiknya harga bahan pokok dan kesulitan mencari lapangan pekerjaan,” papar Mustiko beberapa waktu lalu.

Lanjut dia, adanya partai baru seperti PDP adalah yang terbaik dari sekian Parpol yang ada. Misalnya, dilihat dari sisi pembaruan politik, jauh sebelum partai ini terbentuk gagasan pembaruan politik sudah terformat sedemikan modern dan sangat demokratis. Corak kepemimpinan kolektif yang dibangun dari dalam internal partai makin tumbuh dan mengakar.

Diharapkan sistem tersebut menjadi therapy penyakit yang menggerogoti partai seperti budaya feodal, money politik dan konflik. Semua kepentingan partai harus berdasarkan kolektif kolegial, gotong royong, berbasis kompetesi, bersih dan peduli. Karena itu, jika kader terbiasa dengan pola yang dipakai dalam partai, maka out put-nya akan berdampak positif bagi bangsa dan negera. Karena itu, tidak salah jika lembaga survey menobatkan PDP sebagai partai yang terpopuler dari partai baru lainnya. Sebab belum apa-apa partai yang berlogo banteng berkiprah ini sudah diminati dan dikenal rakyat sebagai partai wong cilik sejati.

Aku Berpolitik
Menarik membaca tulisan M Jais Rambong (MJR) dengan judul ”Mempertanyakan Peran Mahasiswa” di Opini Serambi Indonesia, (4/7/07). Sebagai mahasiswa mungkin MJR telah mengalami apa yang diungkapkannya. Di satu sisi mahasiswa harus berperan sebagai agen perubahan, namun disisi lain mahasiswa harus berhadapan dengan sistem akademik yang lebih mementingkan target ketimbang peran dan kualitas mahasiswanya. Ditambah lagi mahasiswa harus mempertanggung jawabkan kegiatan kuliah kepada orang tuanya.

Namun ungkapan JRM, bahwa mahasiswa sekarang telah disibukkan oleh kemodernan zaman, seperti berceria diwarung kopi, Cafe-cafe dan berleha-leha di jalan-jalan merupakan realitas yang harus diakui. Maka tidak mengherankan bila mahasiswa sebagai kaum intelektual yang punya tanggung jawab kepada masyarakat dan bangsa berubah menjadi kaum oportunis yang hanya memikirkan kepentingan dirinya saja.

Sebenarnya banyak peran yang dapat dimainkan oleh mahasiswa sebagai kaum Intelektual serta yang bertanggungjawab kepada masyarakat?. Terutama memperjelas tujuannya kuliah. Apakah kuliah hanya untuk mencari kerja atau mencari ilmu?. Mungkinkah mahasiswa ”Belajar sambil berjuang dan berjuang sambil belajar” seperti terukir di Tugu Simpang Mesra?.

Pada dasarnya peran yang harus dimainkan oleh mahasiswa adalah kembali kepada Tri Darma Perguruan Tinggi (TDPT). Yaitu, Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Tetapi selama ini ada kesalahan dalam memahami TDPT. Banyak mahasiswa memahami TDPT secara hirarki bukan secara universal.

Bila TDPT di pahami secara hirarki, maka otomatis mahasiswa hanya berkewajiban untuk menyelesaikan pendidikan dulu di Perguruan Tinggi (PT), setelah itu baru berpindah ke level kedua yaitu Penelitian. Sedangkan Pengabdian dianggap sebagai level terakhir setelah mereka selesai kuliah.

Padahal pengabdian tidak harus menunggu selesai kuliah. Membela dan memperjuangankan kepentingan rakyat ketika masih kuliah, juga bagian dari pengabdian. Jadi pengabdian bukan hanya mengajar seperti Guru atau bekerja di kantor pemerintah saja. Tetapi terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat bagi kepentingan umum, juga bagian dari pengabdian.

Karena tuntutan akademik pula, banyak mahasiswa kadang malas berorganisasi. Bila berorganisasi mereka takut terganggu kuliahnya. Padahal di organisasi, kesempatan untuk mengabdi sangat terbuka. Tidak mengherankan bila yang sibuk di organisasi secara penuh berakibat terlambat selesai kuliah. Ada juga yang mampu menyelesaikan kuliah sesuai dengan target. Namun semua itu sangat tergantung dalam pengaturan waktu.

Walaupun demikian, kualitas mahasiswa yang berorganisasi jauh lebih baik bila dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak berorganisasi. Karena mahasiswa yang berorganisasi, mereka mendapatkan ilmu lebih di organisasi. Banyak hal yang dipelajari di organisasi tetapi tidak didapatkan dibangku kuliah. Disinilah letak kelebihannya.

Banyak pula mahasiswa yang aktif di organisasi tetapi kurang mendapat perhatian dari pihak Fakultas maupun Universitas. Misalnya, ketika mengikuti kegiatan organisasi keluar daerah, mahasiswa dengan bangga membawa nama Fakultas, Universitas dan Daerah.

Tetapi ketika kembali ke Fakultas, ternyata Dosen tidak memberi konpensasi selama mengikuti kegiatan tersebut. Padahal mahasiswa membawa nama Fakultas, Universitas dan Daerah. Hal seperti itu sering dialami sejumlah mahasiswa.

Seharusnya ada perhatian terhadap mahasiswa yang ikut kegiatan kemahasiswaan di luar daerah. Karena mereka pergi mewakili Fakultas, Universitas dan Daerahnya. Jadi sangat pantas di beri konpensasi. Bukan justru dipersulit dan disalahkan gara-gara mengikuti kegiatan tersebut.

Namun sangat berbeda ketika Dosen nyambi di luar (meminjam istilah MJR). Dengan mudahnya kegiatan kuliah ditiadakan atau diberi tugas membuat makalah, Paper dan Resume. Dosen tinggal bilang, ”Ini buku wajibnya, pindahkan isi buku kedalam bentuk Makalah, Paper atau Resume”. Suatu perintah yang sangat gampang di ucapkan tetapi sangat membosankan bagi mahasiswa, karena hanya bertugas untuk memindahkan saja.

Aktivis Musiman

Ungkapan ”Aktivis musiman”, terinspirasi dari tulisan Eep Saifullah Fatah tentang ”Oposisi Musiman” di salah satu media nasional. Istilah Oposisi Musiman, muncul sebagai tanggapan atas pro-kontra hak interpelasi di DPR RI.

Namun dalam dunia pergerakan mahasiwa dan berbagai aktivis saat ini. Ada kebiasaan baru dalam memulai aksinya. Seperti peringatan hari buruh, lingkungan hidup, Pendidikan, HAM, AIDS dan lain-lain. Ketika memperingati momentum-momentum tersebut, berbagai aktivis turun kejalan mengelar berbagai aksi. Habis momentum pudarlah aksi dan realisasinya.

Padahal pergerakan mahasiswa tidak hanya sebatas itu. Aktivis mahasiswa dan aktivis lain perlu menempatkan posisinya sebagai pengontrol dalam berbagai persoalan. Agar setiap kebijakan pemerintah tidak merugikan kepentingan umum. Peran yang berkelanjutan menjadi bukti, bahwa peran kontrol mahasiswa masih aktif.

Kalangan aktivis perlu mengawasi tindakan perusakan hutan setiap waktu, tidak harus menunggu hari lingkungan hidup atau peringatan hari-hari yang lain. Karena fungsi sosial kontrol tidak mengenal momentum. Kapanpun ada ketidakberesan maka fungsi tersebut bekerja secara cepat.

Kebiasaan ini bukan hanya terjadi dikalangan aktivis tetapi sudah menjadi tradisi di Pemerintahan. Lihat saja ketika hari lingkungan hidup, semua kantor dinas dihiasi dengan spanduk tentang lingkungan hidup. Mulai Presiden sampai camat, ikut mencanangkan penghijaun dengan ribuan pohon. Selesai serimonial, besok atau lusa giliran kambing atau lembu yang memakan tanaman tersebut. Karena kegiatan penghijaun hanya sebatas seremonial tahunan saja, ia tidak berlanjut sampai membuahkan hasil yang bermanfaat.

Padahal banyak hal yang memerlukan peran mahasiswa di dalamnya. Sebut saja dengan tugas rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Mahasiswa perlu mengawasi agar rekonstrusi tidak menjadi lahan memperkaya diri. Tidak perlu menunggu momentum tsunami atau ulang tahun BRR.

Kedepan mahasiswa perlu berperan lebih banyak lagi dalam berbagai persoalan. Fungsi kontrol perlu menjadi seragam harian mahasiswa dan para aktivis lainnya. Bukan seragam musiman. Jika hanya sebatas seragam musiman, berarti mahasiswa dan aktivis lainnya sama saja dengan aktivis musiman. Karena peran mahasiswa sangat diharapkan oleh masyarakat. Masa depan negeri ini sangat membutuhkan keterlibatan mahasiswa dengan pemikiran cemerlangnya dan aksi-aksi yang sesuai dengan aturan.

Konsep Idealisme


Seiring pergeseran matahari dari ufuk timur menuju senja, zaman ikut berubah. Setiap zaman pasti ada masalah sekaligus ada pahlawannya. Begitu juga pada zaman ini. Pada saat ini ada lima grand issue atau acuan dasar gerakan mahasiswa Indonesia. Antara lain, seputar Orbaisme; Liberalisme; Pendidikan; Disintegrasi Bangsa; Korupsi. Adapun, format gerakan mahasiswa ke depan adalah gerakan massa dan gerakan intelektual (intellectual movement). Sebuah gerakan massa hanya akan menjadi sebuah retorika ketika mahasiswa tidak mengolah budaya ilmiah dalam mengapresiasikan pemikiran dan idealismenya. Budaya ilmiah dapat dilakukan dengan gerakan intelektual (intellectual movement). Pada saat ini para aktivis pergerakan mahasiswa semakin sadar perlu menegedepankan nuansa intelektual ketika bergerak dalam menuntaskan perubahan.



Secara hakiki, gerakan mahasiswa adalah gerakan intelektual—jauh dari kekerasan dan daya juang radikalisme. Mengingat, gerakan ini bermuara dari kalangan akademis kampus—cenderung mengedapankan rasionalitas dalam menyikapi pelbagai permasalahan. Dalam perspektif ini, gerakan intelektual (intellectual movement) akan terbangun di atas Trias Tradition (tiga tradisi).


Pertama, terbangun diatas tradisi diskusi (Discussion Tradition). Gerakan mahasiswa harus memperbanyak ruang diskusi—pra-pasca pergerakan. Diskusi akan membawa gerakan mahasiswa menjadi sebuah gerakan rasional dan terpercaya—ciri khas gerakan mahasiswa. Lantaran itu, elemen masyarakat secara umum akan lebih menghargai isu-isu diusung oleh gerakan mahasiswa. Seperti dalam menurunkan demonstrasi, elemen gerakan mahaiswa harus mengkaji lebih detil—apa, mengapa, akibat dan latar belakang—kebijakan pemerintah harus ditentang. Dari kajian-kajian dalam bentuk diskusi lepas dengan mengundang para pakar dibidang-bidang berkaitan dengan agenda aksi, akan mampu melahirkan gagasan-gagasan dan analisa cemerlang. Hari ini, aktualisasi dan keakuratan data sangat penting bagi gerakan mahasiswa dalam mengkritisi dan bertindak. Sebagaimana kita ketahui zaman semakin maju sehingga dalam mengungkap sesuatu atau menghujam kritik harus berdasar, jelas, akurat dan terpercaya, tanpa itu sulit bagi gerakan mahasiswa dalam menyakinkan rakyat dalam menyalurkan aspirasi.


Kedua, terbangun diatas tradisi menulis (Writing Tradition). Aktivitas menulis merupakan salah satu gerbang menuju tradisi intelektual bagi gerakan mahasiswa. Sejak dulu sampai kini, tokoh dan intelektual bangsa Indonesia—bernotabene mantan tokoh aktivis pemuda dan mahasiswa, banyak melemparkan gagasan atau ide-ide cemerlang, kritikan tajam dan membangun wacana dalam bentuk tulisan. Sebut saja nama tokoh-tokoh populer seperti, Bung Karno, Bung Hatta, M. Natsir—era pra kemerdekaan; Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Deliar Noer, Hariman Siregar, Arief Budiman—era 60 sampai 80-an; Anas Urbaningrum, Eef Saefulloh Fatah, Kamarudin, Andi Rahmat (era 90-an) dan lain-lain. Bila kita balikkan ke pergerakan mahasiswa, mendukung dan menggalakkan melemparkan isu-isu lewat tulisan perlu perhatian serius. Karena, mewacanakan isu-isu melalui media cetak dapat dibaca oleh kalangan lebih luas—dalam artian lebih efefktif untuk menyebarkan gagasan atau wacana ke seluruh pelosok persada nusantara, bahkan sampai manca negara.


Hal ini bersinergi dengan peran mahasiswa Indonesia, meminjam istilah Michael Fremerey (1976) "Gerakan korektif", selain diorasikan melalui mimbar bebas dalam aksi demonstrasi juga dapat diwujudkan bagi tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa dalam bentuk tulisan di media massa. Lebih jauh, dalam buku Bergerak! (Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto) Satrio Arimunandar mengemukakan bahwa gerakan mahasiswa di Indonesia tak bisa lepas dari dukungan penuh media massa untuk menggapai hasil maksimum dalam perjuangan.
Sebagai misal, momentum penurunan rezim Orde Lama (ORLA), gerakan mahasiswa di dukung koran mahasiswa populer "Mahasiswa Indonesia" atau ketika gerakan mahasiswa menurunkan rezim Orde Baru (ORBA) di dukung penuh Buletin Bergerak (Media Aksi Mahasiswa UI), dalam menyebarkan seputar agenda atau wacana gerakan mahasiswa. Hal ini penting, untuk membangkitkan naluri mahasiswa dalam perjuangan menumpas kezhaliman dan kebatilan.
Angin segar bagi pergerakan mahasiswa, akhir-akhir ini tulisan-tulisan tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa (Ketua Umum Organisasi Kemahasiswaan atau Pemuda, Presiden Mahasiswa dan lain-lain) pernah menghiasi media massa, seperti Mamanto Fani (Ketua Umum KAMMI Daerah Sumbar 03-05) 'Mahasiswa Aceh Kembalilah'—24 februari 2005; Indra Kusumah (Presiden BEM UNPAD 2005/2006) 'Politisi Mahasiswa'—majalah SAKSI 16 Oktober 2005;
Selain itu, Yuli Widy Astono (Ketua Umum KAMMI Pusat 2005-2007) 'Nasionalisme Indonesia (Tawaran Membangun Trend Baru Gerakan Mahasiswa)'—majalah SAKSI 12 Oktober 2005; Azman Muammar (Ketua Umum BEM UI 2005-2006) 'Demokrasi Diambang Batas'—majalah SAKSI 28 September 2005; Irwan Suwandi SN (Presiden Mahasiswa UNAND) 'Orang Miskin Dilarang Sekolah'—Majalah SAKSI edisi Februari 2006; dan lain-lain.
Menyikapi hal diatas, tulisan-tulisan para tokoh aktivis pergerakan mahasiswa (Ketua Umum Organisasi Kemahasiswaan atau Pemuda, Presiden Mahasiswa dan lain-lain) tersebut sangat berarti dan berpengaruh bahkan bisa menjadi acuan bagi pergerakan mahasiswa Indonesia.


Ketiga, terbangun diatas tradisi membaca (Reading Tradition). Aktualisasi isu sangat penting bagi gerakan mahasiswa dalam bergerak. Begitu cepat pergeseran berita dan opini publik, memaksa kita untuk senantiasa membaca—kalau tidak akan tertinggal. Kesibukan bukan alasan tepat untuk tidak membaca, di mana atau kapan pun bisa kita luang waktu untuk membaca—antri mengambil karcis, di bus, menjelang demonstrasi dan lain-lain.
Sebuah harapan, gerakan mahasiswa juga bisa mewacanakan semacam 'Gerakan Gemar Membaca" dan disosialisasikan secara luas. Cara ini, dapat menunjukkan gerakan mahasiswa ikut membantu pemerintah dalam membuka kunci gembok kebodohan serta berperan menyelesaikan problem pendidikan Indonesia nyaris tak kunjung terselesaikan ini. Mudah-mudahan orientasi gerakan mahasiswa mengusung isu intellectual movement dengan jargon Trias Tradition—Discussion; Writing; Reading—ke depan (babak baru gerakan mahasiswa tahun 2006) akan mampu menghantarkan gerakan mahasiswa menuju mimbar kehormatan.

Paham Orthodox Secara Umum ??
Suatu saat saya pernah membaca di milis ttg cara pandang Ali Sadikin dalam menyikapi kasus legalisasi judi di masa kepemimpinanya 1966-1977. Ketika ditanya ttg persoalan judi dan konsekuensi keagamaan, Ali justru menanggapi sikap-sikap kaum agama dengan pandangan rasional dan menantang. Ali juga menganggap kelompok-kelompok politik berbasis agama sebagai kelompok opportunis yang hanya mengambil kesempatan dan popularitas politik.
Saya tidak melihat sisi kontroversial dalam melihat kasus judi, tapi saya melihat gaya dan sikap Ali Sadikin adalah sikap seorang yang benar-benar diwarisi cara pandang Jawa yang sedikit banyak berjarak dengan Islam orthodox, dan kejadian ini sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dalam konflik politik di Jawa. Ali Sadikin seorang turunan bangsawan Sumedang, yang merasa memiliki kaitan masa lalu dengan Kerajaan Pajajaran yang hindu, merupakan gambaran jelas posisi bangsawan-bangsawan Jawa dalam memahami Islam. Islam di Jawa, tidak seperti di Sumatera atau semenanjung Melayu, tidak pernah sepenuhnya masuk sebagai bagian budaya dominan. Masuknya Islam ke Jawa dan melakukan sebuah gerakan-gerakan politik kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak Bintoro, Cirebon dan Banten, dan menghancurkan kerajaan-kerajaan lama seperti; Pajajaran, Majapahit, Blambangan bahkan mampu membuat eksodus orang-orang Majapahit-Daha untuk lari ke Pulau Bali. Kejayaan Kerajaan dengan basis Islam-Orthodox sebenarnya hanya berlangsung lama di Banten, hal ini bisa terjadi karena Sultan Banten memiliki dukungan dari para Ajar (pemimpin-pemimpin rakyat) yang sedari awal memang tidak menyukai Pajajaran. Sementara di luar Banten Islam-Orthodox tidak bisa bertahan lama secara politik, tanah Priangan dan Cirebon keburu di kuasai Mataram sehingga tidak bisa menerima Islam Orthodox dan berkembangnya kekuasaan VOC Belanda, dan banyaknya kantor-kantor dagang Eropa yang menyurutkan penyebaran Islam lebih luas lagi ke dalam sistem budaya Jawa.

Islam Orthodox yang berpusat di pesisir-pesisir pantai, mengalami kekalahan paling telak ketika mulai berkembangnya kekuasaan Mataram-Islam di bawah Panembahan Senopati. Panembahan Senopati adalah putera Ki Gede Pemanahan, nama kecil Panembahan Senopati adalah Sutowijoyo, Sewaktu kecil ia diangkat anak oleh Sultan Hadiwijoyo alias Jaka Tingkir. Ketika berumur 16 tahun Sutowijoyo di perintahkan oleh Sultan Hadiwijoyo untuk membunuh musuh bebuyutannya, Pangeran Aryo Penangsang putera dari Pangeran Sedo Lepen, Sedo Lepen adalah pewaris sah tahta Demak, yang kemudian akibat intrik politik kekuasaan Demak berpindah tangan ke Hadiwijoyo yang mendirikan kerajaan di Pajang (Utara Solo). Sutowijoyo akhirnya berhasil menghabisi Pangeran Aryo Penangsang, dan oleh Sultan hadiwijoyo, Sutowijoyo dihadiahi tanah luas di daerah hutan Mentaok, oleh Sutowijoyo hutan itu dibuka dan kemudian didirtikan suatu wilayah bernama Mataram. Lambat laun Sutowijoyo mengangkat dirinya sebagai adipati yang otonom terhadap kekusaan Pajang, dan puncaknya Sutowijoyo mengumpulkan 55 Bupati di seluruh Jawa untuk melawan Hadiwijaya, dan akhirnya Hadiwijoyo kalah, ia tewas jatuh dari Gajah tunggangannya ketika bertempur melawan Sutowijoyo. Dan Sutowijoyo di tasbihkan menjadi Raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati ing Alogo. Gelar Sultan tidak di dapatkan oleh Sutowijoyo karena timbulnya penolakan dari kekhalifahan Turki yang masih menganggap kekuasaan berada ditangan kerajaan Demak dan Pajang.

Pada saat kekuasaan Jawa mundur ke wilayah selatan, maka seakan-akan sudah lepas pengaruh dari kekuasaan-kekuasaan Islam Orthodox atau Islam santri. Sebenarnya pertarungan antara Hadiwijaya dan Aryo Penangsang bisa dilihat juga pertarungan antara Sunan Kalijogo (guru Hadiwijoyo) dan Sunan Kudus (Ayah angkat Aryo Penangsang). Disini Sunan Kalijogo direpresentatifkan sebagai kelompok Islam yang lebih menguatkan kesadaran budaya lokal, dan membangun kekayaan budaya lokal guna memperkuat keislaman orang Jawa, Sementara Sunan Kudus lebih mengedepankan budaya impor (arab) yang juga dimasukkan ke dalam satu paket dengan pola-pola penyebaran Islam di tanah Jawa. Dan akhirnya metode Sunan Kalijogo-lah yang mendapatkan kemenangan di wilayah-wilayah pedalaman, sementara wilayah pesisir masih dipengaruhi oleh Sunan Kudus tapi lambat laun Islam Orthodox gaya Sunan Kudus terdesak oleh hadirnya ratusan kantor-kantor dagang Eropa dan mulai berkembangnya kantong-kantong masyarakat Cina, menyurutkan pengaruh Islam Orthodox di tanah Jawa.

Di wilayah pedalaman Islam kemudian tumbuh sebagai agama kerajaan, namun Panembahan Senopati yang masih memiliki darah biru Majapahit, masih seakan-akan kurang menerima hadirnya Islam dalam sistem budaya. Islam lebih dianggap sebagai alat politik yang penting untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang belum takluk kepada Mataram, dan membangun hubungan dengan ulama-ulama yang mulai berpengaruh di Timur Jawa. Jadi pada awal kekusaan di tanah Jawa pada periode Islam memang adanya jarak antara Islam dengan kekusaan, para satria-satria yang memimpin wilayah Tanah Jawa (termasuk Priangan), masih menganggap mereka adalah keturunan sah kekuasaan Majapahit atau Pajajaran yang memiliki kebduayaan jauh lebih tinggi dari kebudayaan Arab. Kaum ningrat masih sering membandingkan keagungan masa lampau sebagai basis pemahaman bahwa mereka adalah keturunan orang-orang mulia, Borobudur sering dianggap titik kejeniusan orang Jawa thd masa lalu. Borobudur adalah bangunan yang rumit dan lebih indah dari Angkor Wat di Kamboja. Islam bagi kelompok penguasa kemudian tidak begitu mempengaruhi cara hidup mereka, mereka masih dipengaruhi cara-cara berpikir Jawa yang dipengaruhi oleh campuran Hindu, Budha dan Islam Sufistik yang melahirkan filsafat Jawa. Untuk kaum priyayi, filsafat Jawa yang mempunyai gambaran lengkap dalam lakon-lakon wayang orang masih dianggap memiliki tempat yang tinggi, dan kemudian ini dilihat oleh Sunan Kalijogo yang kemudian menciptakan struktur wayang kulit yang tidak sepenuhnya mengadopsi secara sempurna bentuk-bentuk tubuh manusia namun menggambarkan subjek individu lakon itu sendiri.

Kejadian paling buruk dalam hubungan antara penguasa dan umat Islam-Orthodox adalah peristiwa pembunuhan 4000 ulama oleh Amangkurat I (cicit Panembahan Senopati) (1646-1677) yang menuduh para ulama bersekongkol ingin menjatuhkan dirinya. Dan akibat peristiwa ini semakin menjauhkan hubungan antara penguasa dengan Islam-Orthodox yang baru bisa dipulihkan saat Perang Jawa berlangsung di bawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro di tahun 1825-1830.

Islam hanya bisa berkembang di luar pengaruh-pengaruh kekuasaan yang penuh curiga, Islam banyak berkembang di wilayah-wilayah yang sangat jauh dari pusat-pusat kekusaan Jawa, itulah kemudian banyak dipahami Islam Santri yang kemudian banyak mendirikan pusat-pusat pendidikan (pesantren) banyak berkembang di wilayah timur Jawa yang jauh dari Mataram. Dan sikap kaum santri rata-rata tidak radikal terhadap sistem kekusaan Jawa, mereka menganggap bahwa kekuasaan adalah urusan di luar wewenang mereka.
Para Bangsawan Jawa (termasuk Priangan ) saat kehadiran Belanda di Eropa, sangat terpukau oleh kemajuan Belanda dalam hal ini Eropa, namun mereka juga masih menganggap Eropa sebagai bangsa rendahan, yang sama halnya dengan Cina dan Arab. Mereka melihat bahwa Eropa sangat menyenangi hal-hal yang berhubungan dengan kebendaan. Dalam pandangan hidup priyayi Jawa, kebendaan adalah hal-hal rendah yang harus dijauhi, sikap manusia harus berpusat pada keluhuran budi yang jauh dari nilai-nilai pamrih, sementara kebendaan menghubungkan manusia pada ketidak jujuran dan sikap pelit. Inilah makanya mayoritas pandangan Priyayi Jawa yang melihat bentuk-bentuk perdagangan sebagai sesuatu yang hina, mereka menganggap pedagang bukanlah pekerjaan mulia, dan wilayah perdagangan banyak diambil oleh orang-orang Cina, Arab dan suku-suku pribumi yang tidak begitu peduli dengan cara pandang Jawa seperti :orang kalang (bekas budak Mataram dari Bugis dan Bali) danorang-orang seberang (suku Melayu, Bugis dan pedagang-pedagang dari Minang). Inilah yang kemudian bisa menerangkan bagaimana orang-orang Jawa merasa lebih mulia untuk menjadi pegawai negeri, militer ataupun penguasa-penguasa wilayah dengan bayaran apapun mereka pasti berusaha mendapatkannya. Dan sebagai sumber dana selain tanah, para penguasa Jawa masa lampau memiliki kroni-kroni Cina yang digunakan sebagai alat untuk membangun perdagangan, dan terbentukalah perdagangan yang tidak fair dimana kekuasaan dan modal bertemu, ini sangat tidak bisa dipahami oleh orang-orang Eropa yang menganut sistem perdagangan bebas (ala smithian), namun lambat laun orang-orang Eropa juga terbawa-bawa dengan cara dagang seperti ini. Para Bangsawan Jawa (juga Priangan) lebih senang dan merasa mulia berkembang di bidang-bidang halus, seperti dunia sastra, (inilah makanya kenapa nama bangsawan dengan nama Sastra banyak digemari, seperti; Sastranegara, Sastraningrat, sastrawijajaya, sastradharsana dll), dunia spritual, dan dunia yang berhubungan dengan kekusaan. Sampai saat inipun para Jenderal, Gubernur bahkan Presiden sekalipun mempunyai kroni-kroni dagang Cina atau asing, seperti Sukarno yeng berkroni dengan Dasaat (arab, pada era Sukarno pedagang-pedagang Cina di habisi oleh kelompok politik Masjumi), Suharto memiliki Liem Sioe Liong, Prajogo Pangestu, Oom Tik (dan banyak sekali kroni Suharto, di era dia puncak kroni terhadap ekonomi timbul), Gus Dur ( Marimutu Sinivasan, dan William Suryawidjaja) dan sebagainya. Setiap Jenderal juga memiliki kroni, dan ini bisa dibuktikan pada sumber-sumber kesejahteraan Angkatan Bersenjata yang banyak disumbangkan oleh pengusaha-pengusaha keturunan.

Islam dalam politik juga tidak akan bisa memenangi pertarungan, Diponegoro yang menggunakan simbol-simbol Islam kalah dalam pertarungan politik dengan penguasa-penguasa Yogyakarta yang dibantu oleh Belanda. Sementara gerakan-gerakan politik Islam yang pada mulanya berhasil menjadi gerakan Rakyat seperti Sjarikat Islam (SI) yang menjelma menjadi kekuatan raksasa di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto, malah kemudian surut diawali oleh di akomodirnya kelompok Komunis (PKI) ke dalam SI , lalu hadirnya gerakan nasionalis yang lebih mengakomodir budaya Jawa ke dalam pemikiran politiknya, Partai Nasionalis Indonesia yang didirikan oleh anak didik HOS Tjokroaminoto, Ir. Sukarno, menjadi simbol terpenting lahir kekuasaan dominan di Indonesia yaitu kekuasaan kaum nasionalis yang sangat memperhatikan struktur masyarakat Jawa dan mengakui peran-peran kaum bangsawan di dalamnya, Sukarno sendiri sering mengaku sebagai keturunan bangsawan dan mengenakan embel-embel raden di namanya. Sementara Komunisme juga hadir dalam pertarungan politik di Jawa, Komunisme atau PKI yang sempat memberontak di tahun 1926 dan membawa implikasi merugikan dalam suasana pergerakan politik pada waktu itu, mengangkat bentuk perlawanan frontal terhadap kekuasaan penjajah dan juga memusuhi kaum priyayi. Disinilah kemudian muncul anggapan di kalangan priyayi bahwa komunisme adalah sebuah gerakan yang akan merusak tatanan. Tatanan masyarakat bagi orang Jawa merupakan fundamental bangunan masyarakat yang tidak boleh rusak, jika diganggu akan menimbulkan kekacauan suasana yang oleh orang Jawa disebut Gonjang-Ganjinge Jaman, atau Disharmoni. Nah, komunisme yang lebih mengangkat pembelaan terhadap rakyat banyak dan tertindas dianggap akan merusak kekuasaan para priyayi.

Setelah kehadiran pasukan pendudukan Jepang 1942-1945 dan Jepang mendidik orang-orang Jawa dalam sekolah-sekolah militer yang tidak elitis, populis dan berorientasi tempur disinilah semangat keprajuritan orang-orang Jawa muncul kembali setelah dihilangkan dengan sistematis oleh penguasa Belanda. Orang-orang Jawa yang medapatkan didikan militer kemudian merumuskan dirinya sebagai kelas baru para priyayi, kelompok militer inilah yang kemudian berkembang menjadi suatu lapisan elite yang kemudian sanggup bertempur dengan anasir-anasir panganggu kebudayaan Jawa. Mereka menafsirkan dirinya sebagai : Nasionalis, Perwira sejati dan Penjaga kemerdekaan Indonesia. Sementara kelompok-kelompok Islam-Orthodox yang berkembang di pesantren-pesantren memilii lasykar-lasykar rakyat bersenjata, namun kemudian oleh Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX di eliminir dalam program rekonstruksi dan reorganisasi (ReRa) di tahun 1948. Bila Kaum santri masih menurut saja dengan pelucutan senjata oleh kaum Nasionalis, tidak halnya kaum komunis yang memiliki pengaruh di kalangan Angkatan Perang, mereka menolak bila lasykar-lasykar sosialis juga di hapuskan, maka timbullah peristiwa Madiun 1948.

Kaum Santri di wilayah barat Jawa, kemudian dimanfaatkan oleh SM Kartosuwirjo untuk melakukan gerakan-gerakan politik yang bernama Darul Islam Indonesia/tentara Islam Indonesia (DII/TII), sebuah Negara Indonesia dengan dasar Islam. Timbulnya DII/TII malah memunculkan ketidaksenangan kelompok elite militer di Jawa Barat (Siliwangi) yang sangat nasionalis merekalah yang kemudian berhasil menangkapi gerombolan tersebut, tapi baru pada tahun 1963 DII/TII baru benar-benar bisa ditumpas (Bandingkan dengan PKI yang mati-hidup antara tahun 1948-1965).

Kelompok Komunis atau PKI yang berkembang pesat di tahun 1950, setelah DN Aidit menyingkirkan orang-orang komunis era Digul, mulai melakukan politik kompromi dengan Sukarno namun benar-benar di tolak oleh militer mereka bahkan terang-terangan mengancam Sukarno untuk melepaskan pengaruh PKI, kelompok militer ini berasal dari luar Jawa, sementara Sukarno masih dianggap dewa oleh kelompok militer Jawa, tahun 1958 PRRI/PERMESTA timbul dan membuat berang Sukarno, maka diperintahkan A Yani untuk menghabisi PRRI/PERMESTA, dan pasukan Yani menang, ini sekali lagi menguatkan bahwa kelompok militer Jawa memiliki keunggulan dengan kelompok militer luar Jawa. Hancurnya PRRI/PERMESTA menegaskan sekali lagi bahwa perwira Militer Jawa berhasil menaklukkan Militer luar Jawa, dan mengambil jarak dengan kelompok Sosialis ala Sjahrir dan Islam Modern Masjumi. Puncak kemenangan militer Jawa adalah peristiwa jatuhnya Sukarno di tahun 1967. Intrik di Angkatan Darat malah berkembang menjadi penghancuran thd dua lawan politik penting Angkatan Darat di era Nasakom, Figur Sukarno dan Partai Komunis Aidit. PKI yang sudah bersiap untuk menyambut pemilu malah takut keduluan akan kudeta Angkatan Darat, mereka melihat para perwira militer mungkin saja terinspirasi oleh kudeta militer di Aljazair tahun 1964. Kekhawatiran Aidit ditambah provokasi dari agen-agen intelijen yang bermain malah menimbulkan tindakan sepihak dari pasukan pengawal Bung Karno untuk menciduk tujuh Jenderal, dan ini malah menyeret PKI sebagai pelaku pembunuhan. PKI dibubarkan, Sukarno dijatuhkan dan kemenangan bagi militer Jawa yang pengaruhnya terasa sampai sekarang.

Pernyataan Ali Sadikin yang bersikap anti pati thd kelompok politik agama ternyata juga memiliki kaitan sejarah yang panjang, sikap Ali adalah cerminan dari begitu berjaraknya kekuasaan thd unsur-unsur lain di luar kekuasaan seperti : Partai Agama, Luar Jawa, Kelompok Sipil bahkan kelompok yang benar-benar di asingkan seperti Partai Komunis

Ngotot Vs Idealisme
jadi kenapa harus ngotot kalau masih punya idealisme yang tinggi ,apalagikan kalau mahasiswa yang di punya dan harta yang tersisa dan paling berharga adalah idealismenya yang mencerminkan dia adalah seorang mahasiswa sejati pesan saya pertahankan idealismemu jangan hanya karena uang dan jabatan raport kalian jadi merah bin jeblok oh yah pesan saya yang muda yang menghormati yang tua dan lebih baik lagi yang tua menghormat kepada yang lebih muda karena generasi muda adalah tumpuan harapan bangsa OK I will Go Sleep!.

Jumat, 08 Agustus 2008

Kaum Insomnia Kota Bu(d)aya, Apa Kabar?


Adde Marup Wirasenjaya, lahir di Menes, Pandeglang, 17 Oktober 1973. Menyelesaikan studi SI pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sejak mahasiswa menulis di berbagai media massa lokal dan nasional hingga kini. Sewaktu mahasiswa menjadi aktivis di Pers Kampus “NUANSA” UMY dan Kelompok Studi “Lingkaran” Yogyakarta. Menyunting dan menulis untuk sejumlah buku.

Menjadi dosen pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UMY mulai tahun 2002. Wakil Pimpinan Redaksi Jurnal INOVASI UMY, Wapimred Majalah Pendidikan “GERBANG” serta Pimpinan Redaksi Jurnal Hubungan Internasional UMY.

Selain mengajar, masih sering melakukan perjalanan jurnalistik untuk feature di Jurnal INOVASI maupun untuk feature lepas. Mengisi training jurnalistik dan masih menyambangi diskusi kecil bersama mahasiswa.

Ayah dua orang anak, Kafka dan Alun. Kini bermukim di Bantul, Yogyakarta.
Banyak kota yang berhasil menghidupkan malam dan memberi ruang bagi kaum insomnia hanya karena ia menjadi daerah kunjungan wisata. Tetapi, tidak banyak kota yang memiliki karakteristik kaum insomnia yang khas dan unik seperti Yogya. Kaum inilah yang sebenarnya telah membentuk kultur kota. Dari kaum insomnia lahir naskah-naskah teater, riset, kertas kerja, sajak, lukisan, skripsi, hingga proposal proyek. Malam-malam penuh pertemuan dari kalangan insomnia community: dari para muda di kampus yang aktif di klub studi hingga para penyair bohemian yang terus melakukan refleksi. Belum lagi aktivis gerakan, yang beberapa "alumni"-nya hari ini telah menjadi "orang pusat" di Jakarta. Suasana kota yang "setengah desa" turut memengaruhi watak kaum insomnia kota pada masa lalu. Sebagai daerah tujuan studi, kota ini memiliki kehidupan kampus yang dinamis. Kampus menjadi situs kebudayaan penting yang menghubungkan dunia gagasan dan konstruksi budaya kota ini. Kini pragmatisme telah menyerbu kehidupan kampus-kampus di Yogyakarta. Pergeseran ini membawa pengaruh yang luar biasa bagi tumbuhnya kaum insomnia baru yang lebih pragmatis. Membanjirnya kelas menengah ke kota ini dengan cepat direspons, baik oleh pemerintah kota maupun dunia bisnis. Cobalah susuri malam Yogya, dari utara ke selatan, dari barat ke timur. Perumahan baru dibangun dengan berbagai gaya. Niscaya kita akan menemui lampu-lampu menyala, tetapi kota seolah kehilangan cahaya. Kaum insomnia yang bersahaja telah pergi, digantikan generasi insomnia baru yang begitu ceria dan penuh gempita menuju pesta di pusat-pusat belanja. Generasi discourse berganti generasi distro, perdebatan angkringan digantikan gemuruh dan sensasi kafe dan coffee corner. Onthel telah menjadi cendera mata, klub diskusi berganti menjadi generasi clubbing, anak gerakan berganti menjadi klub pencinta motor merek X dan mobil tipe Z. Pada masa lalu, kaum insomnia lahir karena dorongan life struggle. Para pelajar dan mahasiswa yang datang ke Yogya karena pertimbangan tarif hidup yang murah. Kini, menjadi kaum insomnia adalah life style. Bersama dengan tumbuhnya mal, kafe, coffee corner, butik, factory outlet, kaum insomnia saat ini tampak lebih "bersih dan sehat-sehat". Di sekeliling tempat tinggal mereka tumbuh sanggar senam, cuci kiloan, arena bermain. Para perantau yang datang ke Yogya sudah mengalami pergeseran dalam hal kelas sosial. Mereka yang datang ke Yogya saat ini adalah anak-anak wong sugih. Biaya untuk menjadi sarjana di sini kian mahal. Harga sebuah kursi di universitas negeri maupun swasta tak mungkin terjangkau oleh anak- anak pinter tetapi tak cukup punya biaya. Yogya sekarang menjadi sebuah kota yang sangat gaduh dan pantas dijadikan lokasi uji nyali: siapa yang bisa menyeberang jalan di kawasan Jalan Gejayan atau Jalan Kaliurang pukul 12 siang? Di samping padat, pengendara generasi baru di jalanan kota semakin tidak sopan saja. Mereka sangat tidak ramah pada para pedestrian. Tidak ada zebra cross, apalagi jembatan penyeberangan. Kalau mau naik sepeda onthel yang sedikit berhati nyaman, kayuhlah pada pukul 12 malam! Setiap sudut kota menjadi tempat parkir. Bahkan, untuk mengecek saldo di ATM yang cuma membutuhkan waktu lima menit, ada tarif parkirnya. Para petugas parkir datang tidak dari instansi resmi, tetapi dari petugas dadakan yang melihat peluang bisnis. Sudah berulang kali surat pembaca di sejumlah koran mengeluhkan tentang ini, tetapi sampai kini tak ada upaya penertiban. Struktur-struktur penopang kebudayaan kian memberi ruang bagi tumbuhnya budaya massa. Eksotisme berubah menjadi paket wisata yang mahal, bukan lagi sesuatu yang tumbuh dari keseharian hidup. Budaya massa semakin cepat lahir dari berbagai penanda baru yang tumbuh di kota. Menurut Kuntowijoyo, budaya massa lahir akibat proses massifikasi dan memiliki tiga ciri utama: obyektivasi, alienasi, dan pembodohan. Obyektivasi dalam budaya massa terjadi karena pemilik hanya menjadi obyek yang tidak memiliki peran apa-apa dalam pembentukan simbol budaya. Alienasi berarti pemilik budaya massa terasing dari dan dalam kenyataan hidup. Mereka hidup dalam ingar-bingar dan gemuruh kehidupan masa kini, tetapi pada saat yang sama kehilangan identitas dirinya. Dan pembodohan terjadi karena budaya massa hanya melahirkan kesibukan fisik, kepadatan jadwal, tanpa pengalaman mendapatkan pengalaman baru, apalagi momen-momen reflektif. Siasat kebudayaan Pragmatisme atas kultur kota terjadi ketika mobilitas manusia dituntun oleh mobilitas benda. Orientasi sebagai konsumen merupakan pendorong mobilitas itu. Dalam kehidupan masa kini, semua ruang seolah merupakan wilayah ekspansi modal. Ini berbeda, misalnya dengan tradisi yang muncul dalam model penjadwalan pasar-pasar tradisional di Jawa yang mulai punah. Jika kita mencoba melihat lebih dalam, penjadwalan pasar-pasar tradisional itu sebenarnya merupakan siasat kebudayaan. Dengan model pasar mengikuti kalender Jawa, pasar tradisional tak hanya sarat dengan motivasi ekonomi. Di dalam pasar tradisional ada semangat untuk memberi ruang non-ekonomi, yakni kosmologi tentang sirkulasi dan pergerakan manusia supaya mengenal orang lain. Jika ada Pasar Wage, maka selain hari Wage hiruk-pikuk berhenti. Kepadatan kerumunan berkurang. Volume sampah bisa dikurangi di satu tempat. Sedangkan pasar-pasar hipermodern berjaga tanpa jeda, tanpa jadwal, tanpa perbincangan hangat antara simbok dan pelanggan. Di hipermarket, kegaduhan berlangsung dalam suasana tunasosial. Seperti itu juga yang berlangsung di clubbing yang kini hadir melengkapi kehadiran kampus: di sana orang-orang berkerumun, tetapi hanya untuk menggerakkan tubuh mereka sendiri. Tulisan ini tidak ingin memuja masa lalu. Tetapi, penting sekali untuk melakukan interupsi terhadap kultur kota (city culture) yang semakin berubah. Kultur kota harus didesain, dikonstruksi, dan terus diikhtiarkan supaya punya jiwa. Ikon sebuah kota tidak melulu pada masalah space (tempat), tetapi juga ruang (sphere). Hiruk-pikuk kota mungkin menyenangkan bagi mereka yang sekadar menempatkan kota sebagai tempat tinggal (stay in), tetapi tidak bagi mereka yang menempatkannya sebagai tempat hidup (live in). Saatnya kota untuk kembali memikirkan mereka-mereka yang hidup di dalamnya, bukan semata-mata memanjakan mereka yang tinggal lalu minggat lagi setelah harga-harga naik, bencana tiba, ekologi rusak, dan kebudayaan penuh sampah.

Rabu, 06 Agustus 2008

Lentera Muda Pers


Apilikasi Teori Dosenology


a = c + sp
Oleh Dona
Dosenology secara harfiah berarti ilmu mengenai pola atau perilaku dosen dalam rutinitas sebagai pengajar dan profesi tetek-bengek yang ekstrim sekalipun.
"Sebagai pengantar roll film, gue emang selalu dikejar-kejar waktu, tapi gue masih sempet untuk memperhatikan karakter-karakter orang yang dateng ke bioskop. Selama satu tahun gue kerja, gue bisa bikin sepuluh klasifikasi," ujar Nicholas Saputra ber­monolog-ria dalam salah satu adegan film Janji Joni.
Pernah nonton film "Janji Joni"? Kalo Joni dalam satu tahun kerja bisa buat 10 karekter penonton bioskop, make "Sebagai mahasiswa, gue emang selalu dikejar-kejar waktu (untuk cepet lulus maksudnya), tapi gue masih sempet untuk memperhatikan karakter-karekter dosen yang ada di kampus. Selama hampir due tahun gue kuliah, gue bisa bikin 5 klasifikasi".
Pertama, Dosen Bakul Sepatu
Sebenemya kalo ngajar sih biasa aja, kesannya kalem. Tapi kalo Hat mahasiswa pake sendal nongol, langsung deh, jiwa enterpreuner-nya langsung menstimulus kinerja cerebrumn ya untuk berkata,
"Saya gak menerima mahasiswa yang pake sendal, walaupun harganya due setengah milyar tapi tetep aja sendal (baca dengan nada pemain sinetron antagonis). Saya lebih menghargai mahasiswa yang datang ke kuliah saya bawa sepatu colongan daripada cuma pake sendal, yah syukur-syukurkalo mo pesen sepatu ama saya. "
Kedua, Dosen OBH (Obsesinya jadi Bakul Hape)
Dosen tipe ini biasanya lebih mengutamakan Bering Hape daripada pertanyaan mahasiswanya (menurut survei, kadang muncul berbagai penyesalan dibenak sang mahasiwa, mengapa dahulu mengambil mate kuliah dosen ini). Kalo denger bunyi Hape (lebih diutamakan yang monophonic), dosen tipe ini langsung ngomong,
"Ehm3x (dibaca dengan nada orang keselek mlinjo), udah lama saya gak denger suara curut. Hape yang bagus itu seperti ini (seraya mengeluarkan berbagai macam starter kit jualan HaPe plus defter harga en gak lupa bonus­bonusnya)."
Ketiga,- Dosen lulusan ABSm (Akademi Baby Sitter mBantul)
Nah, tipe yang kayak gini nih yang paling disukai ama mahasiswa. Cirinya mullah: kalo udah ngomong, banyak mahasiswa yang langsung 'tewas' dengan sukses. Bahkan ada mahasiswi yang udah bawa teddy bear, babydoll, plus bantal guling.
Keempat, Dosen Alergi Kritik
Dosen ini amat menghindari mahasiswa yang banyak nanya. Termasuk wartawan yang cobs-cobs cari gosip dari die.
Wartawan nekat : "Pak permisi saya dari Nua***, numpang tanya, kamar mandi dimana ya ??? (sambil mrenges)
Dosen : (dengan mimik serius den penuh curiga) "Meat,„!!! Saya ndak ada waktu, saya sibuk! Saya ndak berwenang buat menjawab hat-hat seperti itu. Karena ini menyangkut masalah yang penting den perlu pemikiran yang matang. Coba kamu tanya langsung ke pimpinan saja".
Wartawan nekat : "Saya cuma kebelet pak, panggilan alam!" (sambil loncat­loncat, nahan pi-s) Dosen : (ngamuk) "Kamu.... mau cobs ngritik saya ya ???!!!! saya di sini sudah ngajar ratusan tahun, ndak pernah buat salah! Saya ini ndak ada hubungannya lama Cut Memey! Siapa name kamu ? Koranmu besok tak bredel, IP-mu tak jamin di bawah 5, Nua**** baiar tak aduin ke Noordin M. Top, biar diboom. Wartawan nekat : ?W!%!#&*%
Kelima, Dosen Artis
Dosen artis, dosen model ini biasanya sudah punya name besar di dunia persilatan. Jarang ngajar, atau bahkan nggak pernah, tapi namanya tercantum di pengajaran, adalah ciri-cirinya (yang ngajar ya stuntmannya). Dosen artis ini sudah ahli dalam merangkap peran, misalnya sebagai politisi, pejabat KPU, orang penting, penjual diktat, penulis, foto model, sampecameofilm.
Yah begitulah kira-kira sekilas pintas kriteria dosen yang dapet saya kemukakan selama hampir due tahun kuliah di universitas ini.Yah, memang karakter tiap dosen bermacam-macam. Namun berkat hat tersebutlah perkuliahan menjadi sangat tidak membosankan. Coba kalo semua dosen beragam, ambit contoh mirip dosen OBH semua, tentu bakal ada demo counter HaPe di UMY, karena merasa lahan garapan mereka ter-embat oleh ulah pare dosen ini. Yah moga aja kedepannya makin banyak tipe-tipe dosen yang bermunculan di universitas ini, kayak tipe penjual duren rasa strawbery, yang teriak-teriak dalam menjajakan barangnya, ato kayak tukang mbecak yang kerjanya motor kalo lagi nunggu pelanggan.
Yang jelas apapun tipenya, kami cuma mengharap ke-profesionalitasannya dalam melaksanakan pekerjaan. En kayaknya pihak universitas juga perlu menjamin supaya dapur pare dosen ini tetep ngepul, bier mahasiswa gak jadi 'korban' terns.{wd/Ntiip}

Minggu, 03 Agustus 2008

Wajah Redaktur

Countdown to Launch Lentera Muda Pers

Preview Lentera Muda Pers




Metode Penulisan anti-Cover Both Side

Salam Sejahtera Bagi Kita Semua
Bismillahirohmanirohim

Kita panjatkan segala puji dan syukur ke hadirat Allah Tuhan Yang Mahakuasa yang melimpahkan berbagai macam nikmat dan karunia yang tiada terhitung kepada segenap hamba-Nya dan seluruh makhluk. Kita bagian dari bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas landasan pengakuan Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorong keinginan luhur seluruh rakyat Indonesia, dengan dukungan sumber daya alam yang melimpah, tanah yang subur dan berisi aneka bahan tambang, kondisi iklim dan cuaca yang menunjang serta cukup nyaman dan bersahabat, bermacam-macam jenis flora dan fauna yang mempesona, posisi geo-politik dan geo-strategi yang menguntungkan, kekayaan budaya dan seni yang beraneka ragam, serta lingkungan alam yang indah menawan, ternyata semua itu tak cukup mampu membawa Indonesia menjadi bangsa yang sejahtera, adil, mandiri, berdaulat, dan bermartabat.
Pada hakikatnya, perbedaan adalah sebuah realitas yang harus kita sikapi sebagai elemen untuk bisa lebih mempekuat persatuan. Dan sebaliknya, persatuan dan kesatuan yang kita pupuk dan bangun hendaknya tidak sampai merusak apalagi melenyapkan ciri perbedaan yang ada. Namun dalam konteks pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, maka keputusan yang telah diambil melalui proses musyawarah guna mendapatkan kesepakatan bersama wajib dipatuhi dengan penuh loyalitas dan kebesaran jiwa semua pihak. Bagimanapun harus ada satu keputusan yang disepakati dan dipatuhi. Tidak mungkin dalam sebuah keluarga atau kelompok masyarakat atau organisasi dan lebih-lebih dalam sebuah negara terdapat lebih dari satu keputusan yang berbeda untuk satu masalah yang sama.
Pada pembaca Lentera Muda Pers yang berbahagia kami ucapkan terimakasih atas partisipasinya dalam media elektronik ini. Lentera Muda memang belum terbit dalam bentuk majalah yang mampu diakses secara luas. Walau begitu banyak sekali respon positif dari teman-teman penggemar media elektronik yang sudah memberikan masukan berharga. Salah satunya agar kami mencoba mebuat sembuah feature dengan metode penulisan anti-cover both side. Metode penulisan tidak lazim dalam dunia jurnalistik. Tetapi ini justru sering digunakan oleh para jurnalis dalam menggiring sebuah isu privat yang ditampilkan ke publik. Ini sering mewarnai pelbagai penulisan berita investigasi dan infotaiment ( dominan gosip dari pada fakta).
Metode anti-cover both side sendiri merupakan modifikasi dari perkembangan jurnalisme kontemporer. Kepentingan bisnis media dengan tuntutan kebutuhan akan ulasan yang actual, bombastis, serta mengandung unsur empati. Peran psikologi dan sosiologi seorang jurnalis menjadi dominan. Justru itu tulisan yang dipaparkan semakin kuat emosi dan letupan kata-kata hidup (majas) sehingga pembaca akan larut. Nah hipotesa bahwa ketika jurnalisme dibungkam sastra harus berbicara riil adanya. Anda baca buku dan tulisan Pramoedya Ananta Toer. Terlebih Tetralogi : Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Begitu kuat unsur sastra dalam menggambarkan sebuah realitas hidup zaman kolonialisme dan Indonesia muda saat itu.
Ketika sastra bersentuhan dengan kekuasaan, maka segera hadir pertarungan ideologis di baliknya. Membicarakan sebuah karya sastra tidak mungkin melihatnya sebagai realitas yang independen--yang terlepas dari nilai ideologis, pertarungan konsep serta filsafat. Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) pun lahir dari rahim pertarungan tersebut. Sejarah mencatat polemiknya bersama Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan para pelaku sastra Manikebu. Pram lalu dikalahkan sejarah penguasanya. Hampir separuh hidupnya ia habiskan dalam penjara: 3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun di masa Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru.
Pram pun “mati” di telan sejarah. Karyanya dianggap tak pernah ada. Namun upaya “membenamkan” dirinya dalam penjara, dibalasnya dengan melahirkan sebuah karya berkelas Nobel. Dia lah satu-satunya anak bangsa yang kerap dinominasikan meraih penghargaan Nobel Satra. Namun dibuang bagai sampah oleh negaranya sendiri. Pram yang telah meninggalkan kita selamanya di usianya yang ke-81 tahun, meninggalkan jejak sejarah melalui tulisan-tulisannya.

Politik dan Rekayasa Sejarah
Alhamdulillah berkat doa dan usaha kedua orang tua, saya terlahir di dunia ini. Fajar itu cerita bapak saya, ibuk dengan susah payah mengeluarkan seorang jabang bayi dari rahimmnya. Seorang bayi laki tepat lahir jam 5 pagi. Hari dimana sebelummnya telah diperingati Kesaktiaan Pancasila. Dan malam itu sebelum saya lahir, sekeluarga sempat menyaksikan film G30S PKI. Sungguh ngeri menyaksikan ilustrasi kekejaman Gerakan 30 Sepetember 1965. Dalam film itu, dikisahkan Tujuh Jenderal Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibunuh secara mem-babi-buta oleh yang disangkakan adalah Gerakan Partai Komunis Indonesia.
Keluarga dan tetangga-tetangga nampak antusias dan menghayati adegan, setting dan alur cerita film nasional itu. Meski sudah diputar berulang kali setiap tahun ketika memperingati Hari Kesaktian Pancasila, masyarakat masih terlihat serius menyaksikan dan memeperbicangkan film itu. Mereka telah terpatri dalam mind set bahwa PKI melakukan kekejaman itu guna merebut kekuasaan. Pada tanggal itu, PKI seolah-olah melakukan kudeta. Gerakan senjata dengan melakukan pembunuhan terhadap lawan politik di back up beberapa jenderal TNI. Memang saat itu di kubu TNI telah mengalami perpecahan. Hal itu akibat kisruh demokrasi liberal yang dibangun Soekarno dalam sistem politik Indonesia. Tidak dipungkiri TNI-pun ikut terlibat secara langsung dalam percaturan politik praktis.
Ada tiga kutub/polar yang mendominasi percaturan politik. Ketiga kutub tersebut sulit untuk berkompromi yaitu Nasionalis, Islamism, dan Komunism. Sehinnga keadaan bangsa Indonesia rentan akan stabilitas politik. Gesekan antarkekuatan politik tidak hanya pada lingkaran elite. Tetapi sudah merambah pada tataran grassroot. Konflik sentrifugal tak terhidarkan lagi. Sungguh mencekam lah keadaan bangsa kita setelah merdeka itu. Musuh bukanlah tentara kolonial tetapi anak bangsa sendiri. Bahkan sesama saudara kandung bisa saja saling bunuh karena mereka beda pandangan secara ideologi.
Pemerintah Soekarno mengalami krisis legitimasi. Maneuver politik Bung Karno untuk menjadikan ketiga kekuatan politik bersatu kedalam ide Nasakom (Nasionalism, Islamism dan Komunism) justru menjadi boomerang politik. Kaum nasionalism dan Islamism menolak keras keikutsetaan PKI dalam ide konsolidasi politik nasional. Goncangan politik pada pemerintahan kian kentara. TNI membelot untuk mendukung pemerintahan Soekarno. Demikian juga kaum Islamism, gesekan paling nyata ketika Soekarno melarang Partai Masyumi berpolitik. Kisruh politik itu menyeret pada permasalahan ekonomi yang luar biasa. Ekonomi Indonesia ambruk pada titik nadir. Mata uang rupiah mengalami devaluasi. Harga bahan pokok dan pangan membumbung tinggi. Pemerintah dibebani utang luar negeri yang menumpuk oleh Belanda sebagai konsekuensi atas perjajian merebut kedaulatan atas Belanda. Investor tidak ada yang berspekulasi datang ke Indonesia melihat instabilitas politik dan ekonomi. Apalagi halauan politik luar negeri tidak lagi bebas-aktif. Soekarno begitu dekat dengan komunis dan Soviet. Artinya ketegangan dalam negeri dan politik internasional antara kapitalis dan komunis menjadi pengaruh luar biasa dalam perjalanan bangsa. Indonesia menjadi bagian dari geo-politik yang layak diperebutkan dalam pengaruh kapitalism dan komunism.
Pemberontakan oleh beberapa kelompok baik itu nasionalism dan Islamism juga mewarnai pemerintahan Soekarno. Pemberontakan Permesta, PRII, RMS, DII/TII, Daud Beureueh Aceh, dll. Unsur TNI dan tokoh pemuka agama ikut menjadi pemimpin pemberontakan. Kesigapan pemerintah pada waktu itu dapat mengatasi dengan mudah dan beberapa dengan jalan damai.
Pemberontakan di luar PKI itu ditujukan untuk upaya memisahkan diri dari pangkuan NKRI. Mereka berupaya untuk membentuk pemerintahan sendiri secara berdaulat maupun otonomi khusus. Alasan yang mendasar antara lain berkaitan sengketa tentang dasar pembentukan negara (ideologi) dan kesenjangan pemerintahan. Pemerintahan administrasi yang berada di Jakarta terlalu sentralistis dan mengabaikan wilayah-wilayah Indonesia di luar Jawa. Selain itu adanya upaya perampingan secara administratif di tubuh TNI. Banyak tentara yang tergabung dalam BKR ketika perang kemerdekaan yang tidak masuk ke dalam tubuh TNI yang baru.
Krisis legitimasi itu akhirnya pecah dihadapan Sidang Umum MPR 1966. Pidato Pertanggungjawaban Bung Karno ditolak anggota sidang yang diketuai Jenderal Abdul Haris Nasution. Ini pukulan telak bagi Soekarno. Saat itu banyak perwira TNI menjadi anggota parlemen.
Akhirnya pemerintahan Orde Lama tumbang. MPR mencopot jabatan Soekarno dari tahta kepala pemerintahan dan presiden Republik Indonesia. Soeharto yang menjabat Pangkonstrad dilantik menjadi Pejabat Sementara Presiden sampai terlaksana pemilu 1968. Soekarno menjadi tahanan rumah karena dakwaan ikut terlibat Gerakan 30 September 1965 PKI. Tapi itu semua masih konspirasi. Apakah PKI dan Bung Karno menjadi aktor pembantaian tujuh jenderal ? Tapi kita tidak pernah tahu bahwa sehari setelah TNI menumpas gerakan itu, pejabat, perwira dan warga simpatisan PKI juga dibantai habis entah siapa pelakunya?
PKI merupakan sebuah realitas politik yang tidak bisa dihindari. Sebagai salah satu kekuatan politik, PKI pantas diperhitungkan dan menjadi ancaman bagi kekuatan politik yang mendominasi saat itu. Gerakan PKI begitu massif. Pada pemilu tahun 1955 PKI memperoleh suara terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi. Mungkin saja pemilu berikutnya PKI dapat menjadi pemenang pemilu dan menguasai parlemen. Beberbagi strategi yang populis dan berbasis pada kultur masyarakat pedesaan pertaniaan terutama di Jawa. Selain gerakan politik, PKI juga menjadi tumpuan utama kaum petani dan buruh Indonesia dalam mengaspirasikan suara. Dunia pendidikan dan seni PKI merupakan gerakan kultural dan seni yang cukup apik. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) lahir atas jawaban pendidikan politik dan kultural rakyat dampak dari kebohongan politik kaum elite saat itu.
Masalah teologi saya sendiri kurang faham. Atheisme itu sendiri di tubuh PKI masih perlu ditelusuri lebih jauh. Mayoritas massa PKI adalah kaum buruh tani dan tradisional abangan. Tokoh-tokoh PKI yang saya tahu cukup heterogen, dari pecahan Sarikat Islam, intelaktual muda, perwira TNI, buruh, petani, budayawan, dan simpatisan lain.
Politik memang kotor dan anarkhi. Upaya apaun dapat dilakukan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Tidak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan lah menjadi tujuan utama. Apapun menjadi halal bagi politik ; memfitnah, membantai, melakukan kecurangan, mengaburkan sejarah dan upaya terkutuk lainnya. Politik dalam pengertian seni oleh Niccola Machiavelli berubah menjadi sosok yang kejam penuh dengan tipu muslihat. Tak peduli aktor itu kaum nasionalism, islamis, teokrasi lain (Kristen/Nasrani dan Yahudi Indonesia tergabung dalam kapitalism teknokrasi, aristrokasi dll.) dan komunism.
Upaya yang disangkakan terhadap PKI soal kudeta maupun pemberontakan berbeda dengan pemberontakan lainnya. Pemberontakan diluar PKI merupakan sebuah upaya disintegrasi, entah apakah itu ada unsur campur tangan asing seperti RMS. Atau memang sebuah upaya atas ketidakadilan dan penyimpangan politik saat itu. Jelas pemberontakan itu tidak dapat diberi toleransi. Mengingat saat itu situasi goe-politik tidak memungkinkan adanya upaya pemisaahan diri. Hal itu akan menjadi acaman atas perjuangan kemerdekaan dalam merebut kedaulatan bangsa dan negara.
Kita tidak dapat menarik kesimpulan yang sama atas upaya PKI itu dengan pemberontakan diindonesia. PKI sebagai kekuatan politik punya hak juga ikut dalam rotasi kepemimpinan dan arah pembangunan bangsa. Satu persoalan bahwa yang jelas PKI menjadi ancaman politik bagi kekuatan nasionalism, islamism, dan teokrasi kapitalism. PKI bukan acaman akan integrasi atau keutuhan kedaulatan, namun sebagai kekuatan politik yang ikut berpartisipasi dalam memwujudkan cita-cita kemerdeakaan dan kedaulatan bangsa secara politik, ekonomi, hankam dan sosial-kebudyaan. Dosa-dosa yang didakwakan belum tentu benar. Karena politik itu penuh konspirasi.
Modernisasi dan Keraifan Lokal
Maaf agak panjang cerita film nasional itu. Televisi hanya mampu menampilkan warna hitam-putih saat itu. Bahkan kata bapak, listrik baru masuk ke desa dua tahun sebelum saya lahirkan. Memang hanya baru sedikit warga yang telah memasang instalasi listrik di rumahnya. Dan masih jarang pula warga/keluarga yang mempunyai peralatan ektronika seperti televisi.
Sungguh beruntung bapak mampu menghadirkan sebuah televisi dua warna di tegah keluarga kami. Hampir tiap hari tetangga berkunjung ke rumah untuk menyaksikan acara sebuah stasiun televisi milik negara, yaitu TVRI. Mereka mulai datang ke rumah setelah magrib. Acara favorit mereka adalah Ketoprak dan Dunia Dalam Berita. Warga desa punya waktu sante malam hari, pagi hingga sore mereka sibuk melakukan aktivitas pertanian. Bayak dari mereka punya ber-hektar lahan pertanian, juga banyak pula yang hanya sekedar buruh sawah.
Kata bapak dan ibuk tidak seperti malam-malam sebelumnya. Tidak untuk menyaksikan acara televisi Tetangga dan sanak saudara berkumpul di rumah. Mereka menantikan kelahiran seorang jabang bayi yang akan lahir dari rahim ibuk. Meraka sibuk mempersiapkan segala sesuatu, mulai masak-masak, menyiapkan pagelaran untuk tirakatan. Bayi itu diperkirakan akan lahir tengah malam. Namun dugaan itu meleset.
Jabang bayi yang dinanti tak segera kunjung lahir. Ibuk sudah kesakitan tak karuan. Bidan dan Dukun bayi sudah mempersiapkan segala sesutunya. Mereka panik. Ibuk mengalami sakit yang luar biasa, sampai menjerit. Bidan dan Dukung bayi menyarankan supaya Ibuk dibawa saja ke rumah sakit.
Jam sudah menunjukan pukul dua pagi. Ibuk masih menjerit kesakitan. Jabang bayi itu juga belum ada tanda-tanda bakal keluar. Bapak dan saudara-saudara harap-harap cemas dengan kondisi Ibuk seperti itu. Tetangga yang tetap setia tirakatan juga pada resah. Mereka membayangkan kemungkinan terburuk yang akan dialami Ibuk dengan kondisi seperti itu.
Ibuk tetap tidak mau mengikuti saran Bidan dan Dukun bayi untuk dilarikan saja ke rumah sakit. Ibuk bersikeras melahirkan jabang bayi yang keempat tetap di rumah seperti melahirkan ketiga anaknya.
Hampir dua jam berlalu, bapak dan tim medis desa itu terlihat agak pasrah. Beberapa saat ibu mulai menarik nafas pajang dan menghembuskan pelan-pelan. Sedikit-demi sedikit dengan bantuan tim medis kepala jabang bayi itu mulai keluar dari rahim. Ia mendorong sekuat tenaga sambil menjerit.
Suara tangis bayi memecah kepanikan dan kecemasan. Ibuk terlunglai lemas. Tim medis dan beberapa sanak-saudara perempuan yang ikut membatu persalinan, bersuara agak keras. “eh lanang, lanang bayi-ne”
Nah itulah kehebohan, kepanikan, dan susah payah mewarnai kelahiran ku. Tepat tanggal 2 Oktober 1986, di sebuah desa yang kerukuran dan kegotong-royongan masih mewarnai masyarakat pesisir utara Pati Jawa Tengah.
Saya lahir tidak lantas diberi nama oleh kedua orang tua. Mereka menunggu sampai tiga hari kemudian. Mereka memberikan nama tidak lazim. Anak-anak desa umum bernama dengan awalan “Su”. Hal itu hampir semua anak-anak sebaya dan di atas usia-ku berawalan suku kata “Su”. Bahkan kedua kakakku juga mengalaminya.
Saya mencoba mencari tahu kenapa rata-rata perawakan Jawa pedalaman dan tradisonal memakai suku kata tersebut dalam memberikan nama keturunannya. Bisa pembaca membuktikan sendiri. Data saja nama orang-orang Jawa yang lahir sebelum tahun 1990-an. Mayoritas akan memiliki nama dengan suku kata pertama “Su”. Tetapi itu umum pada masyarakat tradisional dan pedesaan, wilayah Pantai Utara dan Tengah Jawa. Tidak mutlak juga untuk wilayah perkotaan dan modernis, dimana sarana informasi dan pendidikan dibangun dan terjakau dengan mudah. Kemungkinan juga cukup besar satu nama dapat dimiliki oleh ratusan orang. Seperti nama-nama di negeri tirai bambu, Tiongkok.
“Su” sendiri secara terminologi Jawa berati baik, bagus, indah dll. Secara epistemologi kata “Su” mempunyai pengertiaan bahwa kebaikkan dan apabila itu dilekat menjadi sebuah nama, itu akan menjadi sebuah doa yang menyertai dalam hidup. Orang tua mengharapkan kelak anak dengan nama awalan “Su” akan menjadi orang yang lebih baik dari orang tuanya. Untuk itulah banyak nama yang berwalan “Su”. Orang jawa tradisonal percaya nama mempunyai daya magis dalam kehidupan seseorang. Nama punya pengaruh kuat dalam pencitraan dan kewibaan. Bahkan nama juga menunjukan strata sosial dalam masyarakat.
Lantas saya menyakan kepada bapak. “Kenapa pada waktu itu bapak tidak memberi nama yang umum orang desa sandang?” saya menyela saat bapak bercerita tantang kelahiran anak bungsunya. Bapak hanya tersenyum pasif.
Otoritas dalam memberikan nama kepada anak terletak pada bapak pada saat itu. Ini semacam aturan tidak tertulis (konvensi) yang seyoganya dilakukan. Bapak coba menjawab dengan muka agak tidak serius. “Nama akhir itu menunjukan identitas keluarga kita, yaitu aku le. Dan Yuyuk itu merupakan nama-mu sendiri untuk sosialisasi dan interaksi soaial di tengah masyarakat. Coba sendiri artikan kata “yuyuk”,netral kan? Ga ada artinya, yaitu panggilan kamu. Kata berawalan “R” dalam susunan Yuyuk R. Wahyudi itu menunjukan sebuah doa dan harapan atas kelahiran dirimu menjadi manusia yang berguna dan dirahamati Allah. Kata dengan awalan huruf “R” itu juga menunjukan bahwa kedua orang tua ini adalah muslim dan tentunya kamu juga adalah muslim” penjelasan bapak dengan santai malam itu sempat hujan lebat.
Berkaitan dengan kelahiran setelah peringatan Hari Kesaktiaan Pancasila, saya mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan nama itu sendiri. “ Bapak kan juga pelaku sejarah, kok saya ga diberi nama yang punya kaitan dengan peristiwa sejarah. Padahal saya lahir sehari setelah peringatan Hari Kesaktian Pancasila?” desak meminta penjelasan bapak lebih detail.
“Wah, aneh-aneh saja pertanyaanmu. Hampir semua lingkunganmu ini dulu mayoritas simpatisan PKI. Situasi politi tahun 1980-an masih gawat. Upaya melumpuhkan PKI sampai ke akar rumput. Berbagai hak politik, publik dan ekonomi sebagai warga negara Indonesia dicabut. Mereka juga mengalami diskriminasi dalam peralakuaan hokum dan kebijakan publik. Bapak pingin kita hidup rukun tanpa harus fobia pada sejarah. Kita hidup di desa rukun dan gotong royong. Malah politik cukup hak privasi perorangan saja lah” dengan isyarat bapak mengakhiri pembicaraan karena sudah pada ngantuk.
Harga Diri Jepang ke Sarkem
Saya cukup beruntung lahir dalam keluarga ini. Meski bukan pegawai negeri atau profesi formal orang tua ku cukup berhasil menghantarkan anak-anaknya mengenyam pendidikan sampai jenjang SMA dan perguruan tinggi. Kedua orang tua mengandalkan matapencahariaan pedesaan. Berternak ikan tambak, seperti udang windu dan banding. Beberapa petak sawah warisan Mbah. Ibuk jualan pakaian dan buah di pasar tradisional. Untung tidak menjadi prioritas, yang penting pulang dapat bahan untuk dimasak. Justru Ibuk punya banyak teman karena profesinya itu. Bahkan banyak dari mereka seperti saudara sendiri berkeat pertemanan di pasar.
Saya tumbuh sebagai anak laki-laki normal. Bermain dengan sebaya, entah itu sepak bola, permainan tradisional, berpetualang mengitari wilayah lintas desa naik sepeda maupun jalan kaki. Saya punya banyak teman sebaya, baik itu dari tetanggga sekitar, desa maupun lintas desa. Kalau di-list, waduh bisa ngukur panjang Anyer-Panarukan. Kebanyakan dari tentangga sekitar dan teman sekolah.
Ada kenangan manis sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya menjadi siswa berprestasi. Saya selalu mendapat peringkat pertama dalam rangking kelas. Pernah saya menjadi siswa SD teladan yang mewakili kecamatan Margoyoso. Namun mplempem pada tingkat kabupaten, hanya meraih peringkat enam. Sebelumnya saya menyisihkan puluhan SD di kecamatan itu. Akhirnya saya, dari SD Kertomulyo 01 unggul tipis 0,5 poin dari SD Sekarjalak yang difavoritkan.
Masa itu sungguh kompetitif persaingan kelas. Saya selalu dibututi Anto teman satu kelas, anak pedagang sukses yang waktu itu ditinggal bapaknya untuk selama-lamanya. Kita menduduki perikat satu dalam kelas bersama sewaktu kelas tiga. Setelah itu saya mempertahankan posisi sampai Ebtanas. Saya juga akrab dengan guru-guru, sekalipun yang dianggap galak oleh teman-teman.
Nilai ujian akhir kelas enam membawa diri-ku dapat melajutkan pada sekloah menengah pertama favorit se-kecamatan, SMP N 01 Margoyoso Pati. Ada sebagian teman-teman SD mengikuti jejak-ku. Tetapi gak sekelas lagi. Kita terbagi dalam beberapa kelas berdasarkan peringkat nilai hasil Ebtanas. Saya kebetulan berdasarkan nilai tersebut mendapat kelas unggulan, kelas I-A. Teman-teman baru itu termasuk lulusan SD dengan nilai tinggi. Mungkin nilai-ku ini pada urutan paling buncit. Kelihatanya batas bawah nilai Ebtanas yang masuk kelas I-A adalah 38,00. Sementara saya lulus SD dengan mengantongi 39,75. Miris kan! Mungkin 39 siswa satu kelas-ku nilainya jauh di atas nilai itu. Saya sempat minder sih. Bukan soal nilai saja, tampang mereka begitu beda. Body mereka sungguh klemis-klemis, pertanda dari golongan yang cukup mumpuni secara ekonomi maupun strata sosial. Saya agak canggung dalam mengimbangi pokok bahasan dalam pembicaraan sehari-hari di kelas. Model gaya seleberitis banget deh!
Tenyata kondisi psikologis itu menjadi tekanan tersendiri dalam proses belajar di bangku SMP. Tiga catur wulan itu saya tidak pernah masuk lima besar kelas. Catur wulan pertama saya bahkan tidak masuk dalam peringkat sepuluh, batasan peringkat kelas yang ditulis di rapot. Ini menjadi beban tersendiri, mengingat prestasi SD lalu. Biasa orang tua mesti ngomel. Catur wulan dua dan tiga saya masuk sepuluh peringkat kelas. Itupun walau dapat peringkat delapan masigh ada embel-embel C. Artinya ada beberapa yang mendapat rangking tersebut sejumlah beberapa siswa.
Sewaktu kenaikan kelas, saya deg-degan. Timbul pertanyaan, apakah saya masih ikut dalam kelas unggulan nanti kelas dua. Ketegangan menyelimuti diri. Beban ini lebih berat dari sebelummnya. Bagaimana tidak, jika nanti saya turun kasta dari kelas unggulan jelas ini menjadi pukulan telak. Di sana ada teman-teman SD sebagai testimonial atas prestasi-ku selama enam tahun sebelumnya. Belum lagi pertanggungjawaban pada orang tua dan guru-guru karena ini menyangkut harga diri pribadi, keluarga dan nama baik sekolah serta pengajar-ku.
Harga diri bagi seorang merupakan suatu yang subtansial dalam hidupanya. Suatu ketika saya mediskusikan seberapa penting dan berharga-kah makna harga diri dalam kehidupan seorang. Kita menyodorkan beberapa perspektif harga diri dari sebuah kelas sosial.
Lima belas menit menjelang jam empat sore. Cuaca begitu panas, diperparah kondisi ruangan tampak acak-acak dengan berbagai macam benda dan kertas tidak tertata. Ituah ruangan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jurnalism Kampus, LPPM Nuansa. Sepit, pengap, kotor, dan gambar-gambar kartun dan karikatur parodi politik yang digunting dari kolom koran – bingkai cover majalah yang telah diterbikan media kampus itu.
Salah satu temen menyodor sebuah pertanyaan ditengah-tengah kesibukan layout. “Apa itu carok?” keluar dari salah seorang diantara kami, ia bertubuh ceking, rambut pendek agak kumel. Salah satu redaksi kami membahas kekerasan yang terjadi di kampus. Redaksi itu medeskripsikan kronologis tawuran antarmahasiswa dengan senjata tajam gara-gara memperebutkan cewek. Gak banget gitu lho! Tapi teman saya tidak membahas redaksi itu. Ia menyodorkan persoalan kekerasan yang akhir-akhir ini sering dipertontonkan televisi. Seolah kekarasan kini menjadi jalan penyelesai masalah.
“Itu lho dab, berantem face to face pakai celurit, sampai salah satu dari mereka ada yang mati”, balas salah satu teman sambil sibuk layout. Ia memakai kacamata lumayan tebal, entah berapa minus dan silider-nya kini karena sering nongkrong depan komputer.
“Ooo.., duel. Wah jantan banget mereka. Mang masalah apa, ko mereka sampai bunuh-bunuhan segala.?” Tanya kembali dengan raut muka penuh penasaran. “Adu celurit gara-gara rebutan perempuan, tanah , dan sebel aja ama pelakuan yang kasar plus saling hina diantara yang carok itu”, saut.cewek kebetulan asli Bangkalan Madura.
Kutipan dari berbagai buku Antropologi, orang-orang Madura menganut filosofi hidup radikal. Ada kemiripan degan konsep Harakiri para samurai Jepang. “Ketempeng pote matah muk poteah tolang”. Daripada menanggung malu lebih baik mati saja, itu kira-kira artinya. “Gila, masa’, gara-gara gitu aja ampe nyawa jadi taruhannya. Ga rasional banget”, saling pada saut.
Ada beragam cara yang ditempuh oleh manusia untuk menyelesaikan persoalan. Kekarasan salah satu kini yang banyak ditepuh masyarakat Indonesia. Ketika masyarakat mencapai pada titik didih kepenatan sosial. Terutama keadaan kesejahteraan ekonomi sosial mereka tak kunjung membaik. Masyarakat memilih caranya sendiri sebagai solusi terakhir. Itu pada titik nadiri ketika harga diri mereka terbaikan dan merasa terinjak-injak.
Masyarakat mengalami frustasi sosial akibat mereka tidak punya tempat bernaung lagi atas permasalahannya . Institusi pemerintah yang seharusnya tempat bergantung dan rujukan perlindungan justru tidak dapat dipercaya. Logika dan nurani tidak lagi mampu mengotrol diri. Luapan emosi kian meledak-ledak sebagai tumpahan ekspresi depresi mereka. Apakah masyarakat dipersalahkan ketika mereka turun ke jalan melakukan pengkrusakan ketika meraka tidak mampu menghentikan kebijakan pemerintah yang tak ber-nurani?
Hari pengumuman itu tiba juga. Pompa jantung ini makin kencang dan rapat. Teras betul debar jatung-ku. Nama-nama yang masuk kelas unggulan tidak diumumkan langsung oleh wali kelas, melainkan lewat kertas yang temple di depan kelas masing-masin. Nama yang tercantum itulah yang berhak menempati kelas tersebut.
Tidak seperti teman-teman lain, saya justru melihat dari kelas yang tidak menjadi unggulan. Kuliahat dan kucari namaku dengan cermat. Moga saja tidak tercantum kelas urutan terakhir. Ternyata namaku ga terdaftar. Agak sedikit lega. Kelas berikutnya juga tidak ada. Ini harapan terakhirku untuk dapat tetap berada di kelas unggulan. Saya menuju kelas 2-B. Saya semakin deg-degan dan sedikit panik. Wuh, tanpa diduga ternyata nama-ku ga ada. Begitu plong rasanya. Ternyata senang juga masih tetap berada di kelas unggulan.
Proses belajar berjalan normal sampai di penghujung tahun ajaran. Saya naik kelas tiga. Bertambanya jenjang itu, saya semakin tajam memasuki masa puber. Benih-benih perasaan suka lawan jenis makin membara. Hal itu masih sebatas wajar. Karena hanya suka dan mengagumi saja bentuk postur tubuh molek dan wajah cantik. Kelas tiga tidak ada lagi peng-klasifikasi-an kelas unggulan dan tidak. Pembagian kelas berdasarkan geo-grafis siswa. Teman-teman satu desa dan desa yang berdekatan dijadikan satu kelas. Hal itu guna memudahakan dalam pembagian kelompok belajar dari sekolah.
Itu kebijakan sekloah untuk menyongsong ujian Ebtanas. Sekolah mengoptimalkan belajar kelompok agar efektif menigkatkan kemampuan siswa. Mereka yang malas jadi lebih bersemangat dalam belajar. Ibarat pekerjaan lebih mudah apabila dikerjakan ramai-ramai dan gotong-royong. Berat sama dipikul, ringan bawa sendiri aja.
Meskipun begitu gairah berlajar-ku tetap biasa-biasa saja. Malah kita (kelompok belajar-ku) waktu belajar dijadikan termin ngerumpi, mulai soal cewek-cowok sampai ngerasni guru galak, lemah lembut, dan bagi laki-laki tentu guru muda yang seksi.
Ini menjadi puncak kenalan bagi kita yang tinggal beberapa bulan check out dari bangku SMP. Mulai dari berkelahi, mengang-mengang bagain tertentu teman cewek yang yang jadi primadona kelas, dan ngintip celana dalam guru muda yang cantik tur seksi. Itulah bumbu-bumbu penyedap masa puber. Tapi tetap saja saya dan berapa teman ku tetap lah anak umur jagung, belum berani mengambil sikap. Ya hanya sekedar permainan dan agar bias terpingkal. Itu saja sih.
Teman-teman kelas III-C sungguh kompak. Ikatan emosional dan kesetiaan kawan begitu tinggi. Beberapa pernah satu kelas masa SD dan satu desa.
Meski sudah tidak ada kelas unggulan aroma diskriminasi dan persepsi dan perlakuan tetap kental mewarnai. Beberapa kelas mendapat perlkakuan dan mpersepsi yang lebih. Itu wajar, secara geografis dan demografis mereka diuntungkan. Hampir sebagian besar para pengajar sudah kenal mereka, dan mungkin saudaraan. Tetap saja perlakuan diskriminasi lebih pada faktor sosial-ekonomi. Geografis dan demografis tiga kelas lainnya cenderung dari kalangan cukup mapan ekonomi dan bisa dikatakan sudah modernis lah. Profesi orang tua mereka tergolong profsi yang diakui negara dan punya Surat Izin Bekerja (SIB). Kelas III-D mayoritas orang tua mereka penguasa tepung tapioka. Dan ada bebarpa orang tua siswa yang menjadi donatur sekolah.
Tapi mereka agak kebangetan. Meraka hanya memberi limbah dan aroma yang menyengat sisa produksi ketala dirubah jadi tepung. Limbah dialirkan melalui sungai secara langsung tanpa melalui proses terbih dahulu. Suapaya damapak lingkungan yang ditimbulkan sseminimal mungkin. Sungai itu melalui desa kami ; areal sawah, ladang dan tambak. Tentu saja itu punya dampak langsung. Air untuk irigasi dan sirkulasi perikanan jadi tercemar. Beberapa tahun sejak industrialisasi Ngemplak dan seantero-nya digalakkan. Pertanian dan perikanan warga desa yang tepat berada dalam daerah aliran sungai (DAS) kian merosot. Bahkan petani tambak mengalami kegagalan luar biasa, kerugian itu bisa mencapai puluhan juta per petani udang windu. Kini sungai itu berubah nama menjadi Kali Kecing. Anak-anak jadi kehilangan tempat bermain atau sekedar menyalurkan hobi memancing.
Kenakalan kita bermacam-macam selain kenakalan masa puber. Kita pernah bolos, milih untuk tiduran atau skedar main kartu dengan tauruhan bangusan. Meraka yang kalah make over wajahnya dengan angus, hasilnya mirip terntara kopasus yang akan maju ke medan perang (muka penuh corengan hitam) Tiap hari Senin kita pilih mangkir mengikuti upacara bendera. Kita memilih ngumpet di belakang ruang kelas sambil waspada kalau ada sidag.
Membuat suasana gaduh kelas mah jadi keharusan tiap jam pelajaran. Bahkan terhadap wali kelas III-C sendiri sekaligus pengajar matapelajaran Bahasa Indonesia, Pak Domo. Kita sering sebut Yi-Domo atau Mbah Domo. Kita sering nongkrong di kolong meja. Pertama kita bersihkan dengan akin pel, pokonya kinclong. Waktu wali kelas itu mengajar, kita menyiapkan seperangkat alat tidur lengkap atau main kartu. Kasihan bagi siswa-siswi yang berada pada posisi bangku depan. Kita para begundal sengaja memilih bangku paling belakang. Pokoknya waktu itu bener-bener dunia ini jadi milik kita deh. Hidup penuh kebebasan dan berisi kesenangan belaka. Ebtanas yang tinggal beberapa bulan lagi kita anggap masih seperti kuman di tengah lautan. Peace Man!
Bayanyak guru yang mensangsikan kelas kita. Mereka menganggap kelas underdog, cuma bisa bikin onar dan gaduh. Gak pernah serius menerima pelajar. Ada guru ibarat killer atau psychopat. Sosok guru kerjam, tukang ngomel dan nggrutu serta bengisnya minta ampun. Kalau sudah marah benar-benar main tangan. Kelas III-C anti-kekarasan, justru menantang kekerasan. Guru matematika itu bernama Masrukan. Killer abis lah pokok-nya.
Waktu itu hampir siswa sengaja tidak membawa perlatan metematika ; buku paket, busur derajat, penggaris, pensil, dan jangka. Kita bukanya takut atau meras bersalah. Kita enjoy menikmati hukuman, tidak boleh mengikuti pelajar matematika. Itu kebetulan sekali, ibarat-nya sebuah berkah bagi kami. Kita disuruh keluar dari kelas. Pilihan kita jatuhkan mengungsi ke masjid. Bukan sholat taubat, malah pada ngiler. Saqking jengkelnya hamper dua minggu guru tersebut memboikot tidak mengajar. Wuh perasaan kita tambah meledak-ledak kegirangan. Kalau di Amerika saat Rooselvefrt mengeluarakan undang-undang anti perbudakan.
Tidak hanya berhenti di situ. Pelajaran apa yang teman-teman anggap paling favorit dan patut dismak? Pasti teman-teman laki-laki menjawab dengan kompak biologi. Sebagai pelajtran ilmu hayat (tentang makhluk hidup) sungguh menarik. Justru bukan disitu ketertarikan kita terhahap pelajaran tersebut. Melainkan pada sosok pengajar-nya. Bu guru itu sungguh memberikan inspirasi dan imajinasi yang sungguh berharga. Teman-teman tentu tidak akan pernah melupakannya. Memang ada pelajaran tentang anatomi tumbuhan, hewan dan manusia. Itu tidak menarik. Bu Sus, itu sebutan pengajar matapelajaran biologi itu. Tiap kali ia mengajar teman-teman sebaya lebih antusias dan memperhatikan dengan penuh konsentrasi. Saya perhatikan, teman-teman sampai ada yang domblong diakhiri ngiler, tes…tes…tes. Baik dari atas dan bawah. Sungguh molek betul postur tubuh bagian tengah. Payudara-nya besar sekali, kira-kira 38 B (belum pernah ngukur lho). Imajinasi mereka sungguh liar, perikehewanan lah. Tapi cukup sekian saja cerita kenakalan kita, termasuk saya ikut serta di dalam-nya.
Kembali soal harga diri belum tuntas untuk diulas. Ada pertanyaan yang kiranya saya ajukan untuk kembali pada alur pembahasan soal harga diri. Dimana harga diri itu?
Pertanyaan itu sukup simple, tapi cukup kompleks jawaban yang akan dipaparkan. “Apakah terletak di kedua ketek, di antara sekat kedua payudara yang montok, di bibir yang seksi siap untuk dilumat habis, di paha yang mulus dan sintal, atau jangan-jangan di tengah selakangan kedua paha?” saya risau memikirkan jawaban pertanyaan di atas.
Dalam diskusi itu kita belum dapat mengabil kesimpulan final. Sebelum menjawabnya, telintas sebuah pertanyaan dadakan. Kapan harga diri itu muncul dan apakah ia benar-benar ada? Atau harga diri itu sebenarnya tidak ada. Dan apakah ia sudah se-tua peradaban manusia. Jangan-jangan harga diri itu baru ada ketika manusia sudah mulai berebut kepentingan dan merasakan nikmat kekuasaan.
“Bagiku harga diri adalah segalanya. Tidak dapat ditukar dengan apa pun”, jawaban tiba-tiba terlontar dari salah satu teman dengan muka masam. “Harga diri itu seharga pengakuan seseorang atas dirinya sendiri. Harga diri muncul ketika orang itu berani menunjukan eksitensi alami dirinya”, tambahnya
Saya sendiri berusaha mengurangi ketagangan dan sedikit mencairkan suasana dengan melempar cemilan keripik singkong. Ruangan ukuran 3 x 4 meter itu terlihat mencekam. Alunan musik pun tak dihiraukan lagi. Saking panas dan mengalirnya semua makhluk yang ada untuk ikut berpikir.
“Menurutku harga diri itu adalah nilai kemanusiaan. Setiap orang ingin diakui dan dihargai oleh orang lain. Pengakuan itulah yang disebut harga diri”, pendapat ku sambil menarik nafas.
Harga diri itu itu tidak berbentuk. Perilakulah yang menjadi cetakannya. Berharga atau tidaknya harga diri seseorang tergantung pada tingkah lakunya. Kalau ia ingin berniali di mata orang lain maka ia harus memanusiakan manusia.
Lantas, bagaimana mereka yang melacurkan dir di Pasar Kembang (terkenal Sarkem). Sebuah kompleks lokalisasi kelas ekonomi di belakang kawasan Malioboro. Apakah mereka masih punya harga diri?
“Selama ia masih diperlakukan layaknya manusia, tentu harga diri itu masih melekat. Penjajak tidak hanya menikmati tumbuh pramuria itu, ia juga mengajak berinteraksi secara setara. Tidak ada unsur pemaksaan berlebihan hingga kekerasan fisik dan psikis” paparku tanpa mendeskreditkan profesi dan para penikmat tubuh liar.
“Maksudmu, harga diri seseorang itu tidak terletak pada profesinya?” kali in ia gak sedikit kontra terhadap agumentku tadi. Kurang lebih seperti itu, entah dia pelacur, gigolo, perampok atau profesi yang dianggap menyimpang sekalipun. Harga diri masih melekat kuat sepajang perasaan kasih sayang dan nurani ada” jawabku.
Dan kelihatan mereka tambah bingung. Daripada pusing kita pun mengakhiri pembicaraan yang tak berujung tadi. Hari semakin gelap, kita kembali ke kos masing-masing dengan pikiran resah dan panas.
To be continue…..