Masjid Syuhada sebagai salah satu ikon dari Jogjakarta tidak banyak dikenal masyarakat di luar kota Jogkakarta. Mereka mengenal Jogja dengan Malioboro.
Masjid Syuhada merupakan salah satu bagian penting atas keberadaan kota Jogja. Masjid Syuhada merupakan salah satu peninggalan sejarah sekaliigus monumen sejarah.
Masjid Syuhada didirikan dengan latar belakang politis, yaitu keinginan Pemerintah Republik Indonesia untuk meninggalkan kenang-kenangan sekaligus monument bagi warga Jogjakarta. Monumen bagi mereka yang telah ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ide pembangunannya diprakarsai oleh MR. Assaat (Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) dan sejumlah menteri era Presiden Soekarno. Seperti Mr. Syafrudin Prawiranegara, K.H Wahid Hasyim, K.H Masykur, Z.A Ahmad dll.
Seperti diketahui, karena kegentingan politis dan keamanan, ibu kota Republik Indonesia di Jakarta untuk sementara dipindahkan ke Jogjakarta mulai tanggal 6 januari 1946. Pemerintahan dijalankan di Gedung Agung Jogjakarta, dekat pasar Beringharjo atau di sebelah utara keraton Jogjakarta.
Selain itu, alasan historis-politis, pendirian masjid Syuhada dilatarbelakangi pula oleh keinginan untuk melestarikan jiwa perjuangan. Tidak dalam bentuk tugu peringatan atau monumen melainkan masjid. Alasan lain yaitu keinginan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat akan tempat ibadah.
Ada tiga persyaratan yang dikemukan oleh para pemrakarsa pendiriannya, yaitu sesuai dengan sifat perjuangan bangsa Indonesia, sesuai dengan kebudayaan Indonesia, dan bisa menjadi peringatan yang senantiasa hidup dan terhidupkan sepanjang masa.
Simbolisasi Proklamasi
Pemilihan tanda peringantan berupa masjid dianggap tepat oleh banyak kalangan baik dari Indonesia maupun dari luar negeri. Karena tidak ada tanda peringantan yang melebihi kebernilaian sebuah masjid. Dan tidak ada tempat lain yang lebih tepat daripada sebuah masjid untuk mengabadikan jiwa kejuangan para syuhada itu.
Masjid Syuhada mulai dilakukan pembangunannya di Kota Baru pada tanggal 23 September 1950 dan diresmikan penggunaanya pada tanggal 20 September 1952 oleh Presiden Soekarno. Pemilihan lokasi di Kota Baru untuk memberikan perhargaan atas peristiwa Pertempuran Kota Baru. Selain itu lokasinya juga terletak di lembah Kali (sungai) Code, sungai yang membelah bagian tengah kota Jogjakarta.
“Itu tempat berjuangan melawan Jepang, ada 18 orang) yang gugur di sekitar Kota Baru, ujar RM. Tirun Marwito, Ketua Pengurus Masjid Syuhada. .
Itu terjadi pada 7 Oktober 1945. Waktu itu pemuda-pemuda kita ingin melucuti tentara Jepang. Hal itu dilakukan para pemuda kita untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangkan proklamasinya 17 Agustus 1945.
Bangunan Masjid Syuhada terdiri dari tiga lantai. Jika di lihat dari depan atau arah timur (dari Jalan I Nyoman Dewa Oka), lantai pertama sejajar dengan jalan. Di atas terdapat satu lantai namun seolah hanya dua lantai karena lantai dasar tidak nampak.
Jika dilihat dari belakang (dari arah jalan Amat Jazuli, tepi Kali Code), atau dari arah sudut barat dan sudut selatan, bangunan tampak tiga lantai. Dimana lantai pertamanya sejajar dengan jalan Amat Jazuli.
Atap masjid terdiri dua tingkat. Di bagian atas, sebagai puncak masjid, terdapat kupel (mustoko) besar sebagai kubah utama masjid. Di bagian bawahnya terdapat empat kupel kecil di sudut-sudut atap masjid.
Masjid Syuhada mempunyai arsitektur design yang melambangkan momen proklamasi kemerdekaan. Itu diletakan pada struktur bagunan anak tangga dan gapura masjid. Angka 17 disimbolkan dengan anak tangga yang berjumlah 17. Sementara bulan Agustus disimbolkan dengan pilar (tiang) gapura yang mengapit tangga sebelah depan, yang sengaja dibuat segi delapan. Tahun proklamsi disimbolkan dengan empat buah kupel (mustoko) kecil di empat sudut atap bagian bawah, lima kupel di atap bagian atas.
Kok di Kota Baru
Penempatan Masjid Syuhada di Kota Baru bukan tanpa alasan yang filosofis dan strategis. Itu tempat berjuangan melawan Jepang, ada 18 orang yang gugur di sekitar Kota Baru, terjadi pada 7 Oktober 1945. Waktu itu pemuda-pemuda kita ingin melucuti tentara Jepang untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangkan proklamasinya 17 Agustus 1945.
“Mereka meninggal di sekitar Kota Baru ini. Maka ini antara lain salah satu mengapa kok di sini, kebetulan juga tanah ini mudah dibebaskan oleh karena ini tanah keraton. Pada waktu itu Pak sultan merelakan tanah ini digunakan untuk mendirikan Masjid. Dan letaknya bagus sekali, pemandangan yang berada di sekitar ini lebih indah dari sekarang, bisa melihat gunung merapi” papar Pak Tirun.
“Untuk mendirikan tempat ibadah itu harus diletakkan pada tempat yang lebih tinggi”, tambah Pak Tirun.
Sepak Bola dan Kerukunan Beragama
Pendirian Masjid Syuhada pada mulanya berawal dari keinginan seorang penggemar sepak bola yang 'fanatik' Islam, yang sering bermain sepak bola di Kridosono, Haji Mu'amal. Keinginannya tersebut disampaikan dalam logat Jogja, kurang lebih seperti ini.
“Lha kalau di Kridosono ini diadakan bal-balan (sepakbola), lalu orang pada main bal-balan dan pada nonton bal-balan akan sembahyang Ashar dimana dan pada sembahyang maghrib dimana?”.
Kemudian teman bicaranya , Haji Suja' menimpali, “Lha, ya iya dimana? Wong nggak ada masjid, je.” Keinginan itu lalu disampaikan pada pemerintah Jepang yang pada waktu berkuasa.
Untuk mengambil hati orang Indonesia, pemerintah Jepang memberikan ijin sebuah gereja Protestan yang kosong dan tidak dipakai lagi dipakai untuk sholat. Gereja itu bernama Geraja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Namun pada waktu Belanda menguasai lagi Yogyakarta, orang-orang tidak mau lagi menunaikan sholat di gereja tersebut.
Lalu timbul persoalan lagi. “Mau pada sembahyang Ashar dimana, mau sembahyang Maghrib dimana ?” celotehan H. Muammal, Ketua Panitia Pertama pendirian masjid.
Kemudian pada saat pemerintahan Indonesia hijrah ke Jogjakarta, persolan itu disampaikan kepada beberapa staf pemerintahan diantaranya Mr. Assaat.
Diberikan Yasma
Selanjutnya pengeloalan Masjid Syuhada di diserahkan dari panitia pendirian (Mr. Assat) kepada YASMA ( Yayasan Asrama dan Masjid), yang kemudian dikenal dengan Yasma Syuhada. Amanat pembentukan Yasma adalah untuk membimbing pertumbuhan rohani dan jasmani pemuda Indonesia menuju pembangunan angkatan baru yang berjiwa Islam.
Untuk anak-anak Yasma melakukan kegiatan pendidikan dengan label Pendidikan Anak-anak Masjis Syuhada (PAMS), taman Kanak-kanak Masjid Syuhada dan Sekolah Dasar Masjid Syuhada. Bagi pemuda-pemudi Yasma menyelenggarakan Pendidikan Kader Masjid Syuhada (PKMS).
Khusus dalam seni baca Qur'an, Yasma menyelenggarakan berbagai macam pendidkan melalui Lembaga Pendidikan al Qur'an Masjid Syuhada (LPQMS). Selain itu Yasma juga mendirikan perguruan tinggi dengan nama Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Masjid Syuhada (STAIMS).
Syuhada Menghadapi Perubahan Jogja
Menyikapi perubahan yang ada pada kondisi masyarakat Jogja, menurut M. Hanif Sekertaris Pengurus Masjid Syuhada, Yasma mengambil peran pada kelompok masyarakat miskin secara ekonomi dan pendidikan. Dengan memberikan dan mencarikan beasiswa bagi keluarga tidak mampu.
“Sekolah-sekolah di bawah Yasma menampung 5% dari siswanya untuk kelompok msyarakat ini, jelas Hanif, yang juga dosen Fakultas Arsitektur YKPN.
Selain itu juga mendirikan LAZIS dan membangun unit-unit usaha melalui kegiatan kegitan ibu-ibu di desa-desa binaan.
Sebagai masjid kader, Masjid Syuhada terus memperbaiki mutu pendidikan dan kemampuan dakwah kader-kadernya. Meraka disebar ke masjid-masjid Jogja. Mereka menyebar untuk mengembangkan dakwah Islamiah pada masjid-masjid lain di lingkungan Jogja.
Masjid Syuhada sebagai masjid dakwah dan pendidikan tidak bisa lagi mengandalkan tingkat kemakmuran masjid dari masyarakat setempat. Tentu saja pengembangan kearah wisata religius perlu dipikirkan mengingat keberadaan Masjid Syuhada sebagai peninggalan dan mnumen sejarah. (yrw & henhentauruz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar