Minggu, 03 Agustus 2008

Metode Penulisan anti-Cover Both Side

Salam Sejahtera Bagi Kita Semua
Bismillahirohmanirohim

Kita panjatkan segala puji dan syukur ke hadirat Allah Tuhan Yang Mahakuasa yang melimpahkan berbagai macam nikmat dan karunia yang tiada terhitung kepada segenap hamba-Nya dan seluruh makhluk. Kita bagian dari bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas landasan pengakuan Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorong keinginan luhur seluruh rakyat Indonesia, dengan dukungan sumber daya alam yang melimpah, tanah yang subur dan berisi aneka bahan tambang, kondisi iklim dan cuaca yang menunjang serta cukup nyaman dan bersahabat, bermacam-macam jenis flora dan fauna yang mempesona, posisi geo-politik dan geo-strategi yang menguntungkan, kekayaan budaya dan seni yang beraneka ragam, serta lingkungan alam yang indah menawan, ternyata semua itu tak cukup mampu membawa Indonesia menjadi bangsa yang sejahtera, adil, mandiri, berdaulat, dan bermartabat.
Pada hakikatnya, perbedaan adalah sebuah realitas yang harus kita sikapi sebagai elemen untuk bisa lebih mempekuat persatuan. Dan sebaliknya, persatuan dan kesatuan yang kita pupuk dan bangun hendaknya tidak sampai merusak apalagi melenyapkan ciri perbedaan yang ada. Namun dalam konteks pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, maka keputusan yang telah diambil melalui proses musyawarah guna mendapatkan kesepakatan bersama wajib dipatuhi dengan penuh loyalitas dan kebesaran jiwa semua pihak. Bagimanapun harus ada satu keputusan yang disepakati dan dipatuhi. Tidak mungkin dalam sebuah keluarga atau kelompok masyarakat atau organisasi dan lebih-lebih dalam sebuah negara terdapat lebih dari satu keputusan yang berbeda untuk satu masalah yang sama.
Pada pembaca Lentera Muda Pers yang berbahagia kami ucapkan terimakasih atas partisipasinya dalam media elektronik ini. Lentera Muda memang belum terbit dalam bentuk majalah yang mampu diakses secara luas. Walau begitu banyak sekali respon positif dari teman-teman penggemar media elektronik yang sudah memberikan masukan berharga. Salah satunya agar kami mencoba mebuat sembuah feature dengan metode penulisan anti-cover both side. Metode penulisan tidak lazim dalam dunia jurnalistik. Tetapi ini justru sering digunakan oleh para jurnalis dalam menggiring sebuah isu privat yang ditampilkan ke publik. Ini sering mewarnai pelbagai penulisan berita investigasi dan infotaiment ( dominan gosip dari pada fakta).
Metode anti-cover both side sendiri merupakan modifikasi dari perkembangan jurnalisme kontemporer. Kepentingan bisnis media dengan tuntutan kebutuhan akan ulasan yang actual, bombastis, serta mengandung unsur empati. Peran psikologi dan sosiologi seorang jurnalis menjadi dominan. Justru itu tulisan yang dipaparkan semakin kuat emosi dan letupan kata-kata hidup (majas) sehingga pembaca akan larut. Nah hipotesa bahwa ketika jurnalisme dibungkam sastra harus berbicara riil adanya. Anda baca buku dan tulisan Pramoedya Ananta Toer. Terlebih Tetralogi : Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Begitu kuat unsur sastra dalam menggambarkan sebuah realitas hidup zaman kolonialisme dan Indonesia muda saat itu.
Ketika sastra bersentuhan dengan kekuasaan, maka segera hadir pertarungan ideologis di baliknya. Membicarakan sebuah karya sastra tidak mungkin melihatnya sebagai realitas yang independen--yang terlepas dari nilai ideologis, pertarungan konsep serta filsafat. Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) pun lahir dari rahim pertarungan tersebut. Sejarah mencatat polemiknya bersama Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan para pelaku sastra Manikebu. Pram lalu dikalahkan sejarah penguasanya. Hampir separuh hidupnya ia habiskan dalam penjara: 3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun di masa Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru.
Pram pun “mati” di telan sejarah. Karyanya dianggap tak pernah ada. Namun upaya “membenamkan” dirinya dalam penjara, dibalasnya dengan melahirkan sebuah karya berkelas Nobel. Dia lah satu-satunya anak bangsa yang kerap dinominasikan meraih penghargaan Nobel Satra. Namun dibuang bagai sampah oleh negaranya sendiri. Pram yang telah meninggalkan kita selamanya di usianya yang ke-81 tahun, meninggalkan jejak sejarah melalui tulisan-tulisannya.

Politik dan Rekayasa Sejarah
Alhamdulillah berkat doa dan usaha kedua orang tua, saya terlahir di dunia ini. Fajar itu cerita bapak saya, ibuk dengan susah payah mengeluarkan seorang jabang bayi dari rahimmnya. Seorang bayi laki tepat lahir jam 5 pagi. Hari dimana sebelummnya telah diperingati Kesaktiaan Pancasila. Dan malam itu sebelum saya lahir, sekeluarga sempat menyaksikan film G30S PKI. Sungguh ngeri menyaksikan ilustrasi kekejaman Gerakan 30 Sepetember 1965. Dalam film itu, dikisahkan Tujuh Jenderal Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibunuh secara mem-babi-buta oleh yang disangkakan adalah Gerakan Partai Komunis Indonesia.
Keluarga dan tetangga-tetangga nampak antusias dan menghayati adegan, setting dan alur cerita film nasional itu. Meski sudah diputar berulang kali setiap tahun ketika memperingati Hari Kesaktian Pancasila, masyarakat masih terlihat serius menyaksikan dan memeperbicangkan film itu. Mereka telah terpatri dalam mind set bahwa PKI melakukan kekejaman itu guna merebut kekuasaan. Pada tanggal itu, PKI seolah-olah melakukan kudeta. Gerakan senjata dengan melakukan pembunuhan terhadap lawan politik di back up beberapa jenderal TNI. Memang saat itu di kubu TNI telah mengalami perpecahan. Hal itu akibat kisruh demokrasi liberal yang dibangun Soekarno dalam sistem politik Indonesia. Tidak dipungkiri TNI-pun ikut terlibat secara langsung dalam percaturan politik praktis.
Ada tiga kutub/polar yang mendominasi percaturan politik. Ketiga kutub tersebut sulit untuk berkompromi yaitu Nasionalis, Islamism, dan Komunism. Sehinnga keadaan bangsa Indonesia rentan akan stabilitas politik. Gesekan antarkekuatan politik tidak hanya pada lingkaran elite. Tetapi sudah merambah pada tataran grassroot. Konflik sentrifugal tak terhidarkan lagi. Sungguh mencekam lah keadaan bangsa kita setelah merdeka itu. Musuh bukanlah tentara kolonial tetapi anak bangsa sendiri. Bahkan sesama saudara kandung bisa saja saling bunuh karena mereka beda pandangan secara ideologi.
Pemerintah Soekarno mengalami krisis legitimasi. Maneuver politik Bung Karno untuk menjadikan ketiga kekuatan politik bersatu kedalam ide Nasakom (Nasionalism, Islamism dan Komunism) justru menjadi boomerang politik. Kaum nasionalism dan Islamism menolak keras keikutsetaan PKI dalam ide konsolidasi politik nasional. Goncangan politik pada pemerintahan kian kentara. TNI membelot untuk mendukung pemerintahan Soekarno. Demikian juga kaum Islamism, gesekan paling nyata ketika Soekarno melarang Partai Masyumi berpolitik. Kisruh politik itu menyeret pada permasalahan ekonomi yang luar biasa. Ekonomi Indonesia ambruk pada titik nadir. Mata uang rupiah mengalami devaluasi. Harga bahan pokok dan pangan membumbung tinggi. Pemerintah dibebani utang luar negeri yang menumpuk oleh Belanda sebagai konsekuensi atas perjajian merebut kedaulatan atas Belanda. Investor tidak ada yang berspekulasi datang ke Indonesia melihat instabilitas politik dan ekonomi. Apalagi halauan politik luar negeri tidak lagi bebas-aktif. Soekarno begitu dekat dengan komunis dan Soviet. Artinya ketegangan dalam negeri dan politik internasional antara kapitalis dan komunis menjadi pengaruh luar biasa dalam perjalanan bangsa. Indonesia menjadi bagian dari geo-politik yang layak diperebutkan dalam pengaruh kapitalism dan komunism.
Pemberontakan oleh beberapa kelompok baik itu nasionalism dan Islamism juga mewarnai pemerintahan Soekarno. Pemberontakan Permesta, PRII, RMS, DII/TII, Daud Beureueh Aceh, dll. Unsur TNI dan tokoh pemuka agama ikut menjadi pemimpin pemberontakan. Kesigapan pemerintah pada waktu itu dapat mengatasi dengan mudah dan beberapa dengan jalan damai.
Pemberontakan di luar PKI itu ditujukan untuk upaya memisahkan diri dari pangkuan NKRI. Mereka berupaya untuk membentuk pemerintahan sendiri secara berdaulat maupun otonomi khusus. Alasan yang mendasar antara lain berkaitan sengketa tentang dasar pembentukan negara (ideologi) dan kesenjangan pemerintahan. Pemerintahan administrasi yang berada di Jakarta terlalu sentralistis dan mengabaikan wilayah-wilayah Indonesia di luar Jawa. Selain itu adanya upaya perampingan secara administratif di tubuh TNI. Banyak tentara yang tergabung dalam BKR ketika perang kemerdekaan yang tidak masuk ke dalam tubuh TNI yang baru.
Krisis legitimasi itu akhirnya pecah dihadapan Sidang Umum MPR 1966. Pidato Pertanggungjawaban Bung Karno ditolak anggota sidang yang diketuai Jenderal Abdul Haris Nasution. Ini pukulan telak bagi Soekarno. Saat itu banyak perwira TNI menjadi anggota parlemen.
Akhirnya pemerintahan Orde Lama tumbang. MPR mencopot jabatan Soekarno dari tahta kepala pemerintahan dan presiden Republik Indonesia. Soeharto yang menjabat Pangkonstrad dilantik menjadi Pejabat Sementara Presiden sampai terlaksana pemilu 1968. Soekarno menjadi tahanan rumah karena dakwaan ikut terlibat Gerakan 30 September 1965 PKI. Tapi itu semua masih konspirasi. Apakah PKI dan Bung Karno menjadi aktor pembantaian tujuh jenderal ? Tapi kita tidak pernah tahu bahwa sehari setelah TNI menumpas gerakan itu, pejabat, perwira dan warga simpatisan PKI juga dibantai habis entah siapa pelakunya?
PKI merupakan sebuah realitas politik yang tidak bisa dihindari. Sebagai salah satu kekuatan politik, PKI pantas diperhitungkan dan menjadi ancaman bagi kekuatan politik yang mendominasi saat itu. Gerakan PKI begitu massif. Pada pemilu tahun 1955 PKI memperoleh suara terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi. Mungkin saja pemilu berikutnya PKI dapat menjadi pemenang pemilu dan menguasai parlemen. Beberbagi strategi yang populis dan berbasis pada kultur masyarakat pedesaan pertaniaan terutama di Jawa. Selain gerakan politik, PKI juga menjadi tumpuan utama kaum petani dan buruh Indonesia dalam mengaspirasikan suara. Dunia pendidikan dan seni PKI merupakan gerakan kultural dan seni yang cukup apik. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) lahir atas jawaban pendidikan politik dan kultural rakyat dampak dari kebohongan politik kaum elite saat itu.
Masalah teologi saya sendiri kurang faham. Atheisme itu sendiri di tubuh PKI masih perlu ditelusuri lebih jauh. Mayoritas massa PKI adalah kaum buruh tani dan tradisional abangan. Tokoh-tokoh PKI yang saya tahu cukup heterogen, dari pecahan Sarikat Islam, intelaktual muda, perwira TNI, buruh, petani, budayawan, dan simpatisan lain.
Politik memang kotor dan anarkhi. Upaya apaun dapat dilakukan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Tidak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan lah menjadi tujuan utama. Apapun menjadi halal bagi politik ; memfitnah, membantai, melakukan kecurangan, mengaburkan sejarah dan upaya terkutuk lainnya. Politik dalam pengertian seni oleh Niccola Machiavelli berubah menjadi sosok yang kejam penuh dengan tipu muslihat. Tak peduli aktor itu kaum nasionalism, islamis, teokrasi lain (Kristen/Nasrani dan Yahudi Indonesia tergabung dalam kapitalism teknokrasi, aristrokasi dll.) dan komunism.
Upaya yang disangkakan terhadap PKI soal kudeta maupun pemberontakan berbeda dengan pemberontakan lainnya. Pemberontakan diluar PKI merupakan sebuah upaya disintegrasi, entah apakah itu ada unsur campur tangan asing seperti RMS. Atau memang sebuah upaya atas ketidakadilan dan penyimpangan politik saat itu. Jelas pemberontakan itu tidak dapat diberi toleransi. Mengingat saat itu situasi goe-politik tidak memungkinkan adanya upaya pemisaahan diri. Hal itu akan menjadi acaman atas perjuangan kemerdekaan dalam merebut kedaulatan bangsa dan negara.
Kita tidak dapat menarik kesimpulan yang sama atas upaya PKI itu dengan pemberontakan diindonesia. PKI sebagai kekuatan politik punya hak juga ikut dalam rotasi kepemimpinan dan arah pembangunan bangsa. Satu persoalan bahwa yang jelas PKI menjadi ancaman politik bagi kekuatan nasionalism, islamism, dan teokrasi kapitalism. PKI bukan acaman akan integrasi atau keutuhan kedaulatan, namun sebagai kekuatan politik yang ikut berpartisipasi dalam memwujudkan cita-cita kemerdeakaan dan kedaulatan bangsa secara politik, ekonomi, hankam dan sosial-kebudyaan. Dosa-dosa yang didakwakan belum tentu benar. Karena politik itu penuh konspirasi.
Modernisasi dan Keraifan Lokal
Maaf agak panjang cerita film nasional itu. Televisi hanya mampu menampilkan warna hitam-putih saat itu. Bahkan kata bapak, listrik baru masuk ke desa dua tahun sebelum saya lahirkan. Memang hanya baru sedikit warga yang telah memasang instalasi listrik di rumahnya. Dan masih jarang pula warga/keluarga yang mempunyai peralatan ektronika seperti televisi.
Sungguh beruntung bapak mampu menghadirkan sebuah televisi dua warna di tegah keluarga kami. Hampir tiap hari tetangga berkunjung ke rumah untuk menyaksikan acara sebuah stasiun televisi milik negara, yaitu TVRI. Mereka mulai datang ke rumah setelah magrib. Acara favorit mereka adalah Ketoprak dan Dunia Dalam Berita. Warga desa punya waktu sante malam hari, pagi hingga sore mereka sibuk melakukan aktivitas pertanian. Bayak dari mereka punya ber-hektar lahan pertanian, juga banyak pula yang hanya sekedar buruh sawah.
Kata bapak dan ibuk tidak seperti malam-malam sebelumnya. Tidak untuk menyaksikan acara televisi Tetangga dan sanak saudara berkumpul di rumah. Mereka menantikan kelahiran seorang jabang bayi yang akan lahir dari rahim ibuk. Meraka sibuk mempersiapkan segala sesuatu, mulai masak-masak, menyiapkan pagelaran untuk tirakatan. Bayi itu diperkirakan akan lahir tengah malam. Namun dugaan itu meleset.
Jabang bayi yang dinanti tak segera kunjung lahir. Ibuk sudah kesakitan tak karuan. Bidan dan Dukun bayi sudah mempersiapkan segala sesutunya. Mereka panik. Ibuk mengalami sakit yang luar biasa, sampai menjerit. Bidan dan Dukung bayi menyarankan supaya Ibuk dibawa saja ke rumah sakit.
Jam sudah menunjukan pukul dua pagi. Ibuk masih menjerit kesakitan. Jabang bayi itu juga belum ada tanda-tanda bakal keluar. Bapak dan saudara-saudara harap-harap cemas dengan kondisi Ibuk seperti itu. Tetangga yang tetap setia tirakatan juga pada resah. Mereka membayangkan kemungkinan terburuk yang akan dialami Ibuk dengan kondisi seperti itu.
Ibuk tetap tidak mau mengikuti saran Bidan dan Dukun bayi untuk dilarikan saja ke rumah sakit. Ibuk bersikeras melahirkan jabang bayi yang keempat tetap di rumah seperti melahirkan ketiga anaknya.
Hampir dua jam berlalu, bapak dan tim medis desa itu terlihat agak pasrah. Beberapa saat ibu mulai menarik nafas pajang dan menghembuskan pelan-pelan. Sedikit-demi sedikit dengan bantuan tim medis kepala jabang bayi itu mulai keluar dari rahim. Ia mendorong sekuat tenaga sambil menjerit.
Suara tangis bayi memecah kepanikan dan kecemasan. Ibuk terlunglai lemas. Tim medis dan beberapa sanak-saudara perempuan yang ikut membatu persalinan, bersuara agak keras. “eh lanang, lanang bayi-ne”
Nah itulah kehebohan, kepanikan, dan susah payah mewarnai kelahiran ku. Tepat tanggal 2 Oktober 1986, di sebuah desa yang kerukuran dan kegotong-royongan masih mewarnai masyarakat pesisir utara Pati Jawa Tengah.
Saya lahir tidak lantas diberi nama oleh kedua orang tua. Mereka menunggu sampai tiga hari kemudian. Mereka memberikan nama tidak lazim. Anak-anak desa umum bernama dengan awalan “Su”. Hal itu hampir semua anak-anak sebaya dan di atas usia-ku berawalan suku kata “Su”. Bahkan kedua kakakku juga mengalaminya.
Saya mencoba mencari tahu kenapa rata-rata perawakan Jawa pedalaman dan tradisonal memakai suku kata tersebut dalam memberikan nama keturunannya. Bisa pembaca membuktikan sendiri. Data saja nama orang-orang Jawa yang lahir sebelum tahun 1990-an. Mayoritas akan memiliki nama dengan suku kata pertama “Su”. Tetapi itu umum pada masyarakat tradisional dan pedesaan, wilayah Pantai Utara dan Tengah Jawa. Tidak mutlak juga untuk wilayah perkotaan dan modernis, dimana sarana informasi dan pendidikan dibangun dan terjakau dengan mudah. Kemungkinan juga cukup besar satu nama dapat dimiliki oleh ratusan orang. Seperti nama-nama di negeri tirai bambu, Tiongkok.
“Su” sendiri secara terminologi Jawa berati baik, bagus, indah dll. Secara epistemologi kata “Su” mempunyai pengertiaan bahwa kebaikkan dan apabila itu dilekat menjadi sebuah nama, itu akan menjadi sebuah doa yang menyertai dalam hidup. Orang tua mengharapkan kelak anak dengan nama awalan “Su” akan menjadi orang yang lebih baik dari orang tuanya. Untuk itulah banyak nama yang berwalan “Su”. Orang jawa tradisonal percaya nama mempunyai daya magis dalam kehidupan seseorang. Nama punya pengaruh kuat dalam pencitraan dan kewibaan. Bahkan nama juga menunjukan strata sosial dalam masyarakat.
Lantas saya menyakan kepada bapak. “Kenapa pada waktu itu bapak tidak memberi nama yang umum orang desa sandang?” saya menyela saat bapak bercerita tantang kelahiran anak bungsunya. Bapak hanya tersenyum pasif.
Otoritas dalam memberikan nama kepada anak terletak pada bapak pada saat itu. Ini semacam aturan tidak tertulis (konvensi) yang seyoganya dilakukan. Bapak coba menjawab dengan muka agak tidak serius. “Nama akhir itu menunjukan identitas keluarga kita, yaitu aku le. Dan Yuyuk itu merupakan nama-mu sendiri untuk sosialisasi dan interaksi soaial di tengah masyarakat. Coba sendiri artikan kata “yuyuk”,netral kan? Ga ada artinya, yaitu panggilan kamu. Kata berawalan “R” dalam susunan Yuyuk R. Wahyudi itu menunjukan sebuah doa dan harapan atas kelahiran dirimu menjadi manusia yang berguna dan dirahamati Allah. Kata dengan awalan huruf “R” itu juga menunjukan bahwa kedua orang tua ini adalah muslim dan tentunya kamu juga adalah muslim” penjelasan bapak dengan santai malam itu sempat hujan lebat.
Berkaitan dengan kelahiran setelah peringatan Hari Kesaktiaan Pancasila, saya mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan nama itu sendiri. “ Bapak kan juga pelaku sejarah, kok saya ga diberi nama yang punya kaitan dengan peristiwa sejarah. Padahal saya lahir sehari setelah peringatan Hari Kesaktian Pancasila?” desak meminta penjelasan bapak lebih detail.
“Wah, aneh-aneh saja pertanyaanmu. Hampir semua lingkunganmu ini dulu mayoritas simpatisan PKI. Situasi politi tahun 1980-an masih gawat. Upaya melumpuhkan PKI sampai ke akar rumput. Berbagai hak politik, publik dan ekonomi sebagai warga negara Indonesia dicabut. Mereka juga mengalami diskriminasi dalam peralakuaan hokum dan kebijakan publik. Bapak pingin kita hidup rukun tanpa harus fobia pada sejarah. Kita hidup di desa rukun dan gotong royong. Malah politik cukup hak privasi perorangan saja lah” dengan isyarat bapak mengakhiri pembicaraan karena sudah pada ngantuk.
Harga Diri Jepang ke Sarkem
Saya cukup beruntung lahir dalam keluarga ini. Meski bukan pegawai negeri atau profesi formal orang tua ku cukup berhasil menghantarkan anak-anaknya mengenyam pendidikan sampai jenjang SMA dan perguruan tinggi. Kedua orang tua mengandalkan matapencahariaan pedesaan. Berternak ikan tambak, seperti udang windu dan banding. Beberapa petak sawah warisan Mbah. Ibuk jualan pakaian dan buah di pasar tradisional. Untung tidak menjadi prioritas, yang penting pulang dapat bahan untuk dimasak. Justru Ibuk punya banyak teman karena profesinya itu. Bahkan banyak dari mereka seperti saudara sendiri berkeat pertemanan di pasar.
Saya tumbuh sebagai anak laki-laki normal. Bermain dengan sebaya, entah itu sepak bola, permainan tradisional, berpetualang mengitari wilayah lintas desa naik sepeda maupun jalan kaki. Saya punya banyak teman sebaya, baik itu dari tetanggga sekitar, desa maupun lintas desa. Kalau di-list, waduh bisa ngukur panjang Anyer-Panarukan. Kebanyakan dari tentangga sekitar dan teman sekolah.
Ada kenangan manis sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya menjadi siswa berprestasi. Saya selalu mendapat peringkat pertama dalam rangking kelas. Pernah saya menjadi siswa SD teladan yang mewakili kecamatan Margoyoso. Namun mplempem pada tingkat kabupaten, hanya meraih peringkat enam. Sebelumnya saya menyisihkan puluhan SD di kecamatan itu. Akhirnya saya, dari SD Kertomulyo 01 unggul tipis 0,5 poin dari SD Sekarjalak yang difavoritkan.
Masa itu sungguh kompetitif persaingan kelas. Saya selalu dibututi Anto teman satu kelas, anak pedagang sukses yang waktu itu ditinggal bapaknya untuk selama-lamanya. Kita menduduki perikat satu dalam kelas bersama sewaktu kelas tiga. Setelah itu saya mempertahankan posisi sampai Ebtanas. Saya juga akrab dengan guru-guru, sekalipun yang dianggap galak oleh teman-teman.
Nilai ujian akhir kelas enam membawa diri-ku dapat melajutkan pada sekloah menengah pertama favorit se-kecamatan, SMP N 01 Margoyoso Pati. Ada sebagian teman-teman SD mengikuti jejak-ku. Tetapi gak sekelas lagi. Kita terbagi dalam beberapa kelas berdasarkan peringkat nilai hasil Ebtanas. Saya kebetulan berdasarkan nilai tersebut mendapat kelas unggulan, kelas I-A. Teman-teman baru itu termasuk lulusan SD dengan nilai tinggi. Mungkin nilai-ku ini pada urutan paling buncit. Kelihatanya batas bawah nilai Ebtanas yang masuk kelas I-A adalah 38,00. Sementara saya lulus SD dengan mengantongi 39,75. Miris kan! Mungkin 39 siswa satu kelas-ku nilainya jauh di atas nilai itu. Saya sempat minder sih. Bukan soal nilai saja, tampang mereka begitu beda. Body mereka sungguh klemis-klemis, pertanda dari golongan yang cukup mumpuni secara ekonomi maupun strata sosial. Saya agak canggung dalam mengimbangi pokok bahasan dalam pembicaraan sehari-hari di kelas. Model gaya seleberitis banget deh!
Tenyata kondisi psikologis itu menjadi tekanan tersendiri dalam proses belajar di bangku SMP. Tiga catur wulan itu saya tidak pernah masuk lima besar kelas. Catur wulan pertama saya bahkan tidak masuk dalam peringkat sepuluh, batasan peringkat kelas yang ditulis di rapot. Ini menjadi beban tersendiri, mengingat prestasi SD lalu. Biasa orang tua mesti ngomel. Catur wulan dua dan tiga saya masuk sepuluh peringkat kelas. Itupun walau dapat peringkat delapan masigh ada embel-embel C. Artinya ada beberapa yang mendapat rangking tersebut sejumlah beberapa siswa.
Sewaktu kenaikan kelas, saya deg-degan. Timbul pertanyaan, apakah saya masih ikut dalam kelas unggulan nanti kelas dua. Ketegangan menyelimuti diri. Beban ini lebih berat dari sebelummnya. Bagaimana tidak, jika nanti saya turun kasta dari kelas unggulan jelas ini menjadi pukulan telak. Di sana ada teman-teman SD sebagai testimonial atas prestasi-ku selama enam tahun sebelumnya. Belum lagi pertanggungjawaban pada orang tua dan guru-guru karena ini menyangkut harga diri pribadi, keluarga dan nama baik sekolah serta pengajar-ku.
Harga diri bagi seorang merupakan suatu yang subtansial dalam hidupanya. Suatu ketika saya mediskusikan seberapa penting dan berharga-kah makna harga diri dalam kehidupan seorang. Kita menyodorkan beberapa perspektif harga diri dari sebuah kelas sosial.
Lima belas menit menjelang jam empat sore. Cuaca begitu panas, diperparah kondisi ruangan tampak acak-acak dengan berbagai macam benda dan kertas tidak tertata. Ituah ruangan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jurnalism Kampus, LPPM Nuansa. Sepit, pengap, kotor, dan gambar-gambar kartun dan karikatur parodi politik yang digunting dari kolom koran – bingkai cover majalah yang telah diterbikan media kampus itu.
Salah satu temen menyodor sebuah pertanyaan ditengah-tengah kesibukan layout. “Apa itu carok?” keluar dari salah seorang diantara kami, ia bertubuh ceking, rambut pendek agak kumel. Salah satu redaksi kami membahas kekerasan yang terjadi di kampus. Redaksi itu medeskripsikan kronologis tawuran antarmahasiswa dengan senjata tajam gara-gara memperebutkan cewek. Gak banget gitu lho! Tapi teman saya tidak membahas redaksi itu. Ia menyodorkan persoalan kekerasan yang akhir-akhir ini sering dipertontonkan televisi. Seolah kekarasan kini menjadi jalan penyelesai masalah.
“Itu lho dab, berantem face to face pakai celurit, sampai salah satu dari mereka ada yang mati”, balas salah satu teman sambil sibuk layout. Ia memakai kacamata lumayan tebal, entah berapa minus dan silider-nya kini karena sering nongkrong depan komputer.
“Ooo.., duel. Wah jantan banget mereka. Mang masalah apa, ko mereka sampai bunuh-bunuhan segala.?” Tanya kembali dengan raut muka penuh penasaran. “Adu celurit gara-gara rebutan perempuan, tanah , dan sebel aja ama pelakuan yang kasar plus saling hina diantara yang carok itu”, saut.cewek kebetulan asli Bangkalan Madura.
Kutipan dari berbagai buku Antropologi, orang-orang Madura menganut filosofi hidup radikal. Ada kemiripan degan konsep Harakiri para samurai Jepang. “Ketempeng pote matah muk poteah tolang”. Daripada menanggung malu lebih baik mati saja, itu kira-kira artinya. “Gila, masa’, gara-gara gitu aja ampe nyawa jadi taruhannya. Ga rasional banget”, saling pada saut.
Ada beragam cara yang ditempuh oleh manusia untuk menyelesaikan persoalan. Kekarasan salah satu kini yang banyak ditepuh masyarakat Indonesia. Ketika masyarakat mencapai pada titik didih kepenatan sosial. Terutama keadaan kesejahteraan ekonomi sosial mereka tak kunjung membaik. Masyarakat memilih caranya sendiri sebagai solusi terakhir. Itu pada titik nadiri ketika harga diri mereka terbaikan dan merasa terinjak-injak.
Masyarakat mengalami frustasi sosial akibat mereka tidak punya tempat bernaung lagi atas permasalahannya . Institusi pemerintah yang seharusnya tempat bergantung dan rujukan perlindungan justru tidak dapat dipercaya. Logika dan nurani tidak lagi mampu mengotrol diri. Luapan emosi kian meledak-ledak sebagai tumpahan ekspresi depresi mereka. Apakah masyarakat dipersalahkan ketika mereka turun ke jalan melakukan pengkrusakan ketika meraka tidak mampu menghentikan kebijakan pemerintah yang tak ber-nurani?
Hari pengumuman itu tiba juga. Pompa jantung ini makin kencang dan rapat. Teras betul debar jatung-ku. Nama-nama yang masuk kelas unggulan tidak diumumkan langsung oleh wali kelas, melainkan lewat kertas yang temple di depan kelas masing-masin. Nama yang tercantum itulah yang berhak menempati kelas tersebut.
Tidak seperti teman-teman lain, saya justru melihat dari kelas yang tidak menjadi unggulan. Kuliahat dan kucari namaku dengan cermat. Moga saja tidak tercantum kelas urutan terakhir. Ternyata namaku ga terdaftar. Agak sedikit lega. Kelas berikutnya juga tidak ada. Ini harapan terakhirku untuk dapat tetap berada di kelas unggulan. Saya menuju kelas 2-B. Saya semakin deg-degan dan sedikit panik. Wuh, tanpa diduga ternyata nama-ku ga ada. Begitu plong rasanya. Ternyata senang juga masih tetap berada di kelas unggulan.
Proses belajar berjalan normal sampai di penghujung tahun ajaran. Saya naik kelas tiga. Bertambanya jenjang itu, saya semakin tajam memasuki masa puber. Benih-benih perasaan suka lawan jenis makin membara. Hal itu masih sebatas wajar. Karena hanya suka dan mengagumi saja bentuk postur tubuh molek dan wajah cantik. Kelas tiga tidak ada lagi peng-klasifikasi-an kelas unggulan dan tidak. Pembagian kelas berdasarkan geo-grafis siswa. Teman-teman satu desa dan desa yang berdekatan dijadikan satu kelas. Hal itu guna memudahakan dalam pembagian kelompok belajar dari sekolah.
Itu kebijakan sekloah untuk menyongsong ujian Ebtanas. Sekolah mengoptimalkan belajar kelompok agar efektif menigkatkan kemampuan siswa. Mereka yang malas jadi lebih bersemangat dalam belajar. Ibarat pekerjaan lebih mudah apabila dikerjakan ramai-ramai dan gotong-royong. Berat sama dipikul, ringan bawa sendiri aja.
Meskipun begitu gairah berlajar-ku tetap biasa-biasa saja. Malah kita (kelompok belajar-ku) waktu belajar dijadikan termin ngerumpi, mulai soal cewek-cowok sampai ngerasni guru galak, lemah lembut, dan bagi laki-laki tentu guru muda yang seksi.
Ini menjadi puncak kenalan bagi kita yang tinggal beberapa bulan check out dari bangku SMP. Mulai dari berkelahi, mengang-mengang bagain tertentu teman cewek yang yang jadi primadona kelas, dan ngintip celana dalam guru muda yang cantik tur seksi. Itulah bumbu-bumbu penyedap masa puber. Tapi tetap saja saya dan berapa teman ku tetap lah anak umur jagung, belum berani mengambil sikap. Ya hanya sekedar permainan dan agar bias terpingkal. Itu saja sih.
Teman-teman kelas III-C sungguh kompak. Ikatan emosional dan kesetiaan kawan begitu tinggi. Beberapa pernah satu kelas masa SD dan satu desa.
Meski sudah tidak ada kelas unggulan aroma diskriminasi dan persepsi dan perlakuan tetap kental mewarnai. Beberapa kelas mendapat perlkakuan dan mpersepsi yang lebih. Itu wajar, secara geografis dan demografis mereka diuntungkan. Hampir sebagian besar para pengajar sudah kenal mereka, dan mungkin saudaraan. Tetap saja perlakuan diskriminasi lebih pada faktor sosial-ekonomi. Geografis dan demografis tiga kelas lainnya cenderung dari kalangan cukup mapan ekonomi dan bisa dikatakan sudah modernis lah. Profesi orang tua mereka tergolong profsi yang diakui negara dan punya Surat Izin Bekerja (SIB). Kelas III-D mayoritas orang tua mereka penguasa tepung tapioka. Dan ada bebarpa orang tua siswa yang menjadi donatur sekolah.
Tapi mereka agak kebangetan. Meraka hanya memberi limbah dan aroma yang menyengat sisa produksi ketala dirubah jadi tepung. Limbah dialirkan melalui sungai secara langsung tanpa melalui proses terbih dahulu. Suapaya damapak lingkungan yang ditimbulkan sseminimal mungkin. Sungai itu melalui desa kami ; areal sawah, ladang dan tambak. Tentu saja itu punya dampak langsung. Air untuk irigasi dan sirkulasi perikanan jadi tercemar. Beberapa tahun sejak industrialisasi Ngemplak dan seantero-nya digalakkan. Pertanian dan perikanan warga desa yang tepat berada dalam daerah aliran sungai (DAS) kian merosot. Bahkan petani tambak mengalami kegagalan luar biasa, kerugian itu bisa mencapai puluhan juta per petani udang windu. Kini sungai itu berubah nama menjadi Kali Kecing. Anak-anak jadi kehilangan tempat bermain atau sekedar menyalurkan hobi memancing.
Kenakalan kita bermacam-macam selain kenakalan masa puber. Kita pernah bolos, milih untuk tiduran atau skedar main kartu dengan tauruhan bangusan. Meraka yang kalah make over wajahnya dengan angus, hasilnya mirip terntara kopasus yang akan maju ke medan perang (muka penuh corengan hitam) Tiap hari Senin kita pilih mangkir mengikuti upacara bendera. Kita memilih ngumpet di belakang ruang kelas sambil waspada kalau ada sidag.
Membuat suasana gaduh kelas mah jadi keharusan tiap jam pelajaran. Bahkan terhadap wali kelas III-C sendiri sekaligus pengajar matapelajaran Bahasa Indonesia, Pak Domo. Kita sering sebut Yi-Domo atau Mbah Domo. Kita sering nongkrong di kolong meja. Pertama kita bersihkan dengan akin pel, pokonya kinclong. Waktu wali kelas itu mengajar, kita menyiapkan seperangkat alat tidur lengkap atau main kartu. Kasihan bagi siswa-siswi yang berada pada posisi bangku depan. Kita para begundal sengaja memilih bangku paling belakang. Pokoknya waktu itu bener-bener dunia ini jadi milik kita deh. Hidup penuh kebebasan dan berisi kesenangan belaka. Ebtanas yang tinggal beberapa bulan lagi kita anggap masih seperti kuman di tengah lautan. Peace Man!
Bayanyak guru yang mensangsikan kelas kita. Mereka menganggap kelas underdog, cuma bisa bikin onar dan gaduh. Gak pernah serius menerima pelajar. Ada guru ibarat killer atau psychopat. Sosok guru kerjam, tukang ngomel dan nggrutu serta bengisnya minta ampun. Kalau sudah marah benar-benar main tangan. Kelas III-C anti-kekarasan, justru menantang kekerasan. Guru matematika itu bernama Masrukan. Killer abis lah pokok-nya.
Waktu itu hampir siswa sengaja tidak membawa perlatan metematika ; buku paket, busur derajat, penggaris, pensil, dan jangka. Kita bukanya takut atau meras bersalah. Kita enjoy menikmati hukuman, tidak boleh mengikuti pelajar matematika. Itu kebetulan sekali, ibarat-nya sebuah berkah bagi kami. Kita disuruh keluar dari kelas. Pilihan kita jatuhkan mengungsi ke masjid. Bukan sholat taubat, malah pada ngiler. Saqking jengkelnya hamper dua minggu guru tersebut memboikot tidak mengajar. Wuh perasaan kita tambah meledak-ledak kegirangan. Kalau di Amerika saat Rooselvefrt mengeluarakan undang-undang anti perbudakan.
Tidak hanya berhenti di situ. Pelajaran apa yang teman-teman anggap paling favorit dan patut dismak? Pasti teman-teman laki-laki menjawab dengan kompak biologi. Sebagai pelajtran ilmu hayat (tentang makhluk hidup) sungguh menarik. Justru bukan disitu ketertarikan kita terhahap pelajaran tersebut. Melainkan pada sosok pengajar-nya. Bu guru itu sungguh memberikan inspirasi dan imajinasi yang sungguh berharga. Teman-teman tentu tidak akan pernah melupakannya. Memang ada pelajaran tentang anatomi tumbuhan, hewan dan manusia. Itu tidak menarik. Bu Sus, itu sebutan pengajar matapelajaran biologi itu. Tiap kali ia mengajar teman-teman sebaya lebih antusias dan memperhatikan dengan penuh konsentrasi. Saya perhatikan, teman-teman sampai ada yang domblong diakhiri ngiler, tes…tes…tes. Baik dari atas dan bawah. Sungguh molek betul postur tubuh bagian tengah. Payudara-nya besar sekali, kira-kira 38 B (belum pernah ngukur lho). Imajinasi mereka sungguh liar, perikehewanan lah. Tapi cukup sekian saja cerita kenakalan kita, termasuk saya ikut serta di dalam-nya.
Kembali soal harga diri belum tuntas untuk diulas. Ada pertanyaan yang kiranya saya ajukan untuk kembali pada alur pembahasan soal harga diri. Dimana harga diri itu?
Pertanyaan itu sukup simple, tapi cukup kompleks jawaban yang akan dipaparkan. “Apakah terletak di kedua ketek, di antara sekat kedua payudara yang montok, di bibir yang seksi siap untuk dilumat habis, di paha yang mulus dan sintal, atau jangan-jangan di tengah selakangan kedua paha?” saya risau memikirkan jawaban pertanyaan di atas.
Dalam diskusi itu kita belum dapat mengabil kesimpulan final. Sebelum menjawabnya, telintas sebuah pertanyaan dadakan. Kapan harga diri itu muncul dan apakah ia benar-benar ada? Atau harga diri itu sebenarnya tidak ada. Dan apakah ia sudah se-tua peradaban manusia. Jangan-jangan harga diri itu baru ada ketika manusia sudah mulai berebut kepentingan dan merasakan nikmat kekuasaan.
“Bagiku harga diri adalah segalanya. Tidak dapat ditukar dengan apa pun”, jawaban tiba-tiba terlontar dari salah satu teman dengan muka masam. “Harga diri itu seharga pengakuan seseorang atas dirinya sendiri. Harga diri muncul ketika orang itu berani menunjukan eksitensi alami dirinya”, tambahnya
Saya sendiri berusaha mengurangi ketagangan dan sedikit mencairkan suasana dengan melempar cemilan keripik singkong. Ruangan ukuran 3 x 4 meter itu terlihat mencekam. Alunan musik pun tak dihiraukan lagi. Saking panas dan mengalirnya semua makhluk yang ada untuk ikut berpikir.
“Menurutku harga diri itu adalah nilai kemanusiaan. Setiap orang ingin diakui dan dihargai oleh orang lain. Pengakuan itulah yang disebut harga diri”, pendapat ku sambil menarik nafas.
Harga diri itu itu tidak berbentuk. Perilakulah yang menjadi cetakannya. Berharga atau tidaknya harga diri seseorang tergantung pada tingkah lakunya. Kalau ia ingin berniali di mata orang lain maka ia harus memanusiakan manusia.
Lantas, bagaimana mereka yang melacurkan dir di Pasar Kembang (terkenal Sarkem). Sebuah kompleks lokalisasi kelas ekonomi di belakang kawasan Malioboro. Apakah mereka masih punya harga diri?
“Selama ia masih diperlakukan layaknya manusia, tentu harga diri itu masih melekat. Penjajak tidak hanya menikmati tumbuh pramuria itu, ia juga mengajak berinteraksi secara setara. Tidak ada unsur pemaksaan berlebihan hingga kekerasan fisik dan psikis” paparku tanpa mendeskreditkan profesi dan para penikmat tubuh liar.
“Maksudmu, harga diri seseorang itu tidak terletak pada profesinya?” kali in ia gak sedikit kontra terhadap agumentku tadi. Kurang lebih seperti itu, entah dia pelacur, gigolo, perampok atau profesi yang dianggap menyimpang sekalipun. Harga diri masih melekat kuat sepajang perasaan kasih sayang dan nurani ada” jawabku.
Dan kelihatan mereka tambah bingung. Daripada pusing kita pun mengakhiri pembicaraan yang tak berujung tadi. Hari semakin gelap, kita kembali ke kos masing-masing dengan pikiran resah dan panas.
To be continue…..

Tidak ada komentar: