Adde Marup Wirasenjaya, lahir di Menes, Pandeglang, 17 Oktober 1973. Menyelesaikan studi SI pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sejak mahasiswa menulis di berbagai media massa lokal dan nasional hingga kini. Sewaktu mahasiswa menjadi aktivis di Pers Kampus “NUANSA” UMY dan Kelompok Studi “Lingkaran” Yogyakarta. Menyunting dan menulis untuk sejumlah buku.
Menjadi dosen pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UMY mulai tahun 2002. Wakil Pimpinan Redaksi Jurnal INOVASI UMY, Wapimred Majalah Pendidikan “GERBANG” serta Pimpinan Redaksi Jurnal Hubungan Internasional UMY.
Selain mengajar, masih sering melakukan perjalanan jurnalistik untuk feature di Jurnal INOVASI maupun untuk feature lepas. Mengisi training jurnalistik dan masih menyambangi diskusi kecil bersama mahasiswa.
Ayah dua orang anak, Kafka dan Alun. Kini bermukim di Bantul, Yogyakarta.
Menjadi dosen pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UMY mulai tahun 2002. Wakil Pimpinan Redaksi Jurnal INOVASI UMY, Wapimred Majalah Pendidikan “GERBANG” serta Pimpinan Redaksi Jurnal Hubungan Internasional UMY.
Selain mengajar, masih sering melakukan perjalanan jurnalistik untuk feature di Jurnal INOVASI maupun untuk feature lepas. Mengisi training jurnalistik dan masih menyambangi diskusi kecil bersama mahasiswa.
Ayah dua orang anak, Kafka dan Alun. Kini bermukim di Bantul, Yogyakarta.
Banyak kota yang berhasil menghidupkan malam dan memberi ruang bagi kaum insomnia hanya karena ia menjadi daerah kunjungan wisata. Tetapi, tidak banyak kota yang memiliki karakteristik kaum insomnia yang khas dan unik seperti Yogya. Kaum inilah yang sebenarnya telah membentuk kultur kota. Dari kaum insomnia lahir naskah-naskah teater, riset, kertas kerja, sajak, lukisan, skripsi, hingga proposal proyek. Malam-malam penuh pertemuan dari kalangan insomnia community: dari para muda di kampus yang aktif di klub studi hingga para penyair bohemian yang terus melakukan refleksi. Belum lagi aktivis gerakan, yang beberapa "alumni"-nya hari ini telah menjadi "orang pusat" di Jakarta. Suasana kota yang "setengah desa" turut memengaruhi watak kaum insomnia kota pada masa lalu. Sebagai daerah tujuan studi, kota ini memiliki kehidupan kampus yang dinamis. Kampus menjadi situs kebudayaan penting yang menghubungkan dunia gagasan dan konstruksi budaya kota ini. Kini pragmatisme telah menyerbu kehidupan kampus-kampus di Yogyakarta. Pergeseran ini membawa pengaruh yang luar biasa bagi tumbuhnya kaum insomnia baru yang lebih pragmatis. Membanjirnya kelas menengah ke kota ini dengan cepat direspons, baik oleh pemerintah kota maupun dunia bisnis. Cobalah susuri malam Yogya, dari utara ke selatan, dari barat ke timur. Perumahan baru dibangun dengan berbagai gaya. Niscaya kita akan menemui lampu-lampu menyala, tetapi kota seolah kehilangan cahaya. Kaum insomnia yang bersahaja telah pergi, digantikan generasi insomnia baru yang begitu ceria dan penuh gempita menuju pesta di pusat-pusat belanja. Generasi discourse berganti generasi distro, perdebatan angkringan digantikan gemuruh dan sensasi kafe dan coffee corner. Onthel telah menjadi cendera mata, klub diskusi berganti menjadi generasi clubbing, anak gerakan berganti menjadi klub pencinta motor merek X dan mobil tipe Z. Pada masa lalu, kaum insomnia lahir karena dorongan life struggle. Para pelajar dan mahasiswa yang datang ke Yogya karena pertimbangan tarif hidup yang murah. Kini, menjadi kaum insomnia adalah life style. Bersama dengan tumbuhnya mal, kafe, coffee corner, butik, factory outlet, kaum insomnia saat ini tampak lebih "bersih dan sehat-sehat". Di sekeliling tempat tinggal mereka tumbuh sanggar senam, cuci kiloan, arena bermain. Para perantau yang datang ke Yogya sudah mengalami pergeseran dalam hal kelas sosial. Mereka yang datang ke Yogya saat ini adalah anak-anak wong sugih. Biaya untuk menjadi sarjana di sini kian mahal. Harga sebuah kursi di universitas negeri maupun swasta tak mungkin terjangkau oleh anak- anak pinter tetapi tak cukup punya biaya. Yogya sekarang menjadi sebuah kota yang sangat gaduh dan pantas dijadikan lokasi uji nyali: siapa yang bisa menyeberang jalan di kawasan Jalan Gejayan atau Jalan Kaliurang pukul 12 siang? Di samping padat, pengendara generasi baru di jalanan kota semakin tidak sopan saja. Mereka sangat tidak ramah pada para pedestrian. Tidak ada zebra cross, apalagi jembatan penyeberangan. Kalau mau naik sepeda onthel yang sedikit berhati nyaman, kayuhlah pada pukul 12 malam! Setiap sudut kota menjadi tempat parkir. Bahkan, untuk mengecek saldo di ATM yang cuma membutuhkan waktu lima menit, ada tarif parkirnya. Para petugas parkir datang tidak dari instansi resmi, tetapi dari petugas dadakan yang melihat peluang bisnis. Sudah berulang kali surat pembaca di sejumlah koran mengeluhkan tentang ini, tetapi sampai kini tak ada upaya penertiban. Struktur-struktur penopang kebudayaan kian memberi ruang bagi tumbuhnya budaya massa. Eksotisme berubah menjadi paket wisata yang mahal, bukan lagi sesuatu yang tumbuh dari keseharian hidup. Budaya massa semakin cepat lahir dari berbagai penanda baru yang tumbuh di kota. Menurut Kuntowijoyo, budaya massa lahir akibat proses massifikasi dan memiliki tiga ciri utama: obyektivasi, alienasi, dan pembodohan. Obyektivasi dalam budaya massa terjadi karena pemilik hanya menjadi obyek yang tidak memiliki peran apa-apa dalam pembentukan simbol budaya. Alienasi berarti pemilik budaya massa terasing dari dan dalam kenyataan hidup. Mereka hidup dalam ingar-bingar dan gemuruh kehidupan masa kini, tetapi pada saat yang sama kehilangan identitas dirinya. Dan pembodohan terjadi karena budaya massa hanya melahirkan kesibukan fisik, kepadatan jadwal, tanpa pengalaman mendapatkan pengalaman baru, apalagi momen-momen reflektif. Siasat kebudayaan Pragmatisme atas kultur kota terjadi ketika mobilitas manusia dituntun oleh mobilitas benda. Orientasi sebagai konsumen merupakan pendorong mobilitas itu. Dalam kehidupan masa kini, semua ruang seolah merupakan wilayah ekspansi modal. Ini berbeda, misalnya dengan tradisi yang muncul dalam model penjadwalan pasar-pasar tradisional di Jawa yang mulai punah. Jika kita mencoba melihat lebih dalam, penjadwalan pasar-pasar tradisional itu sebenarnya merupakan siasat kebudayaan. Dengan model pasar mengikuti kalender Jawa, pasar tradisional tak hanya sarat dengan motivasi ekonomi. Di dalam pasar tradisional ada semangat untuk memberi ruang non-ekonomi, yakni kosmologi tentang sirkulasi dan pergerakan manusia supaya mengenal orang lain. Jika ada Pasar Wage, maka selain hari Wage hiruk-pikuk berhenti. Kepadatan kerumunan berkurang. Volume sampah bisa dikurangi di satu tempat. Sedangkan pasar-pasar hipermodern berjaga tanpa jeda, tanpa jadwal, tanpa perbincangan hangat antara simbok dan pelanggan. Di hipermarket, kegaduhan berlangsung dalam suasana tunasosial. Seperti itu juga yang berlangsung di clubbing yang kini hadir melengkapi kehadiran kampus: di sana orang-orang berkerumun, tetapi hanya untuk menggerakkan tubuh mereka sendiri. Tulisan ini tidak ingin memuja masa lalu. Tetapi, penting sekali untuk melakukan interupsi terhadap kultur kota (city culture) yang semakin berubah. Kultur kota harus didesain, dikonstruksi, dan terus diikhtiarkan supaya punya jiwa. Ikon sebuah kota tidak melulu pada masalah space (tempat), tetapi juga ruang (sphere). Hiruk-pikuk kota mungkin menyenangkan bagi mereka yang sekadar menempatkan kota sebagai tempat tinggal (stay in), tetapi tidak bagi mereka yang menempatkannya sebagai tempat hidup (live in). Saatnya kota untuk kembali memikirkan mereka-mereka yang hidup di dalamnya, bukan semata-mata memanjakan mereka yang tinggal lalu minggat lagi setelah harga-harga naik, bencana tiba, ekologi rusak, dan kebudayaan penuh sampah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar