“Tertawalah sebelum tertawa itu bayar. Dan jangan menertawakan orang jika tidak ingin ada bekas hitam-kebiru-biruan di wajah mu. Terwa juga bikin saraf menjadi relex. Ada yang bilang berkat tertawa orang jauh lebih muda dari pada umurnya. Dari tertawa kita bisa belajar banyak hal”
Opsesi Tertunda
Untuk menulis memang butuh ketelatenan dan mental baja, pantang menyerah ditertawakan. Apalagi saya, mahasiswa yang mendalami ilmu ngomong dan bikin proposal apa aja, mau penelitiaan atau kegiatan.
Tentu sangat malu jika saya tidak mampu membuat tulisan yang dapat dibaca semua kalangan. Banyak nasehat dari teman-teman yang telah menerbitkan tulisannya menjadi buku. Selain dapet honor (tambahan uang saku) juga namanya pun sekarang amat terkenal walaupun itu hanya penerbit indie.
Saya tak mau kalah. Mungkin hasrat yang terlalu besar ini akan semakin mencekikku jika tak segera tersalurkan.
Hampir tiap hari berbagai buku kerap menjadi teman dekat (emang kamu ga punya gebetan). Kubaca dan mencari-cari permasalahan tertentu yang kiranya dapat saya analisis dari beberapa teori maupun konsep yang ada dalam buku yang terlahap.
Wah, ternyata menuangkan ide/gagasan dalam bentuk tulisan sulitnya bukan main. Padahal kalau saya ngomong sok ceplas-ceplos, seolah kaya air grojogan. Letak kesulitan bukan masalah tema dan ide menarik ga untuk dibaca orang. Melainkan dari mana kita akan memulainya. Kata apa yang harus saya pilih untuk mengawali sebauh paragraph. Lalu nyambung ga sih hubungan antarkalimat dan antarparagraf yang saya bangun.
Kadang juga hambatan penulis pemula tidak hanya di situ saja. Kebanyakan penulis pemula ini penya penyakit aneh. Ia selalu memandang penulis-penulis terkenal, yang sudah punya perbendaharaan kosakata kata yang banyak sekali. Pinginnya sekali nulis minimal 3 halaman, spasi satu lagi. Weleh-weleh, berapa sih buku yang ia lalap.
Ketiga kadang penulis pemula tidak bangga akan identitas diri sendiri. Bahkan tidak hanya gaya penulisan, idepun ia harus mengikuti/meng-imitasi penulis yang udah terkenal. Aduh biyung, masak baru kelas teri ngukur dirinya kaya penulis terkenal, bukunya yang dah best seller aja.
Saya pun sempat seperti itu. Satu tahun pertama di lembaga jurnalistik kampus, saya hanya nulis dua kali saja. Itupun seperempat dari newsroom yang disediakan. Ketok cilik banget, mungkin ga ada yang baca. Pada saat itu tulisan yang masuk dalam kategori hardnews dan straightnews. Cukup mengikuti aturan penulisan jurnalistik yang baku (5W+1H) selesai. Tapi konsekuensinya tulisan terasa garing. Bahkan sepat saya bikin seperti pers realize. Masyaallah…!
Mental gatutkaca dan jurus badak gila harus tetap dilakukan. Tahan banting dan bermuka tebal anti malu wajib hukumnya. Tahun pertama, saya tergolong merupakan redaksi baru yang lamban perkembangannya. Teman-teman seangkatan wah luar biasa. Mereka lumayan produktif dan kreatif dari segi ide dan variasi gaya tulisan.
Saya hamper saja patah arang, redaksi baru hanya ngisi du tulisan dalam dua edisi. “Sungguh terlalu”, (kata Bang Haji). Saya akui rekruitmen awal, semua redaksi baru wajib mengikuti diklat jurnalistik selama satu minggu hari, (seingat saya). Lha wong orang super cuek alias siji dewe, akhirnya saya ga ikut. Dampaknya saya tidak dapat tim untuk liputan, tepaksa liputan sendiri, nulis-nulis sendiri, tidur pun sendiri. Lho ko ngelatur nyanyi lagu Chacha Handika, padahal saya ga penggemar dangdut. Sok modern, liat saja kalo dikamar sendiri dengar alunan musik dangdut pasti pantat komat-kamit. Bahkan saya seperti jadi asing demngan teman-teman redaksi yang lain. Ya udalah memang nasib saya harus sendiri.
Jadi Pemberontak
Permasalahan tidak sampai di situ. Saya punya tanggung jawa moril karena dah menjadi warganegara yang mendedikasikan diri sebagai pelayan pemuas nafsu informasi dan isu warga kampus. Di sisi lain pingin unjuk gigi bahwa dengan sendiri pasti bisa. “Slogan SBY-JK itu duplikat dari saya itu” (aku yang narsis).
Sebelum saya melanjutkan cerita, ada sebuah pesan dari journalism. Journalism mempunyai subtansi menyampaikan informasi dan memberikan ulasan bukan ajakan (persuasi). Ketiak ada tulisan, berita dan ulasan semata-mata paparan. Entah nanti dampak dari isi dari karya journalism itu pahala dan dosa kita serahkan pada yang di atas. Dan juga bagaimana cara pembaca/khalayak menyikapinya.
Vakum setahun dari lembaga jurnalis kampus, lantas tidak membuat jadi orang tanpa aktivitas. Untuk sementara mengistirahatkan usaha adaptasi yang butuh perjuangan keras. Tetapi satu prinsip yang terus saya pegang, jangan sampai selekasi alam itu memakan korban saya.
Kuliah menjadi agenda rutin dan wajib saya ikuti. Soalnya ketat banget kampus milik pemuja simbol matahari menerapkan presensi 70 persen kehadiran. Kejam banget. Jiwa pemberontakan lahir dimulailah dari situ. Mengapa sih kebijakan itu harus diberontak? Banyak alasan yang tidak logis dan punya hubungan yang signifikan terhadap prestasi mahasiswa atau pun dalih penciptaaan iklim akdemik yang sehat di kampus.
Orang awam/ pengamat pendidikan boleh lah bilang itu langkah yang baik, hitung-hitungan secara teoritis. Bagi saya dan beberapa teman yang se-ideologi mengatakan tidak (baca dengan suara lantang). Mengapa demikian?
Perilaku social dalam konteks interaksi social bukanlah angka matematis dan sudah terajawab dengan teori baku. Oke, memang ada paradigma epistemology sebuah disiplin sosial yang mengatakan bahwa gejala sosial itu bisa bersifat kuantitatif karena punya kejegan. Bagi saya keajegan memang benar adanya. Tetapi keajegan itu mempunyai keunikan tersendiri karena motif, latar belakang dan konsisi lingkungan social yang berbeda.
Presensi 70 persen mungkin mutlak bagi pelajar/kaum didik pada disiplin dan tingkatan pendidikan tertentu. Oke lah 70 persen tapi itu merupakan sangsi moral saja. Kalau jika tidak memenuhi kuota kehadirran kuliah sampai seperti itu namanya pemaksaan. Dampak bukan positif tapi justru jadi boomerang bagi kualitas iklim akademik itu sendiri.
Bagi mahasiswa kuliah bukan merupakan kewajiban melalinkan kebutuhan. Dari awal ia kuliah, jadi kebutuhanya ya belajar. Dan masuk kuliah itu sudah menjadi fitrah. Tetapi kan tidak harus dikuatitatifkan. Faktanya, banyak teman-teman masuk kuliah bukan mengejar ilmu yang disampaikan pada perkuliahan, melainkan mengejar tandatangan presensi. Justru ini menjadi kontra produktif dari tujuan awalnya.
Pada waktu itu tiap kelas diisi 60-50 mahasiswa, apa yang terjadi? Satu sampai empat kali pertemuan kelas terisi penuh kehadiran mahasiswa. Setelah itu mereka gentian titip tanda tangan.
Alangkah baiknya, sebuah ;lembaga pendidkan tidak usah membuat indicator kuantitatif yang terlalu represif. Batasan kehadiran tidak menjadi acuan prioritas dalam perkuliahan. Tapi jika perpustakaannya ramai dikunjungi, banyak kelompok diskusi dan riset, seminar publik kerap diselenggarakan, kompetisi akademik baik kegiatan UKM maupun karya ilmiah tinggi tingkat partisipasi, justru ini menunjukkan indikator iklim akdemik yang sehat.
Dari mana seorang pelajar cerdas dan peka hanya dari presensi. Sementara perpustakaan kosong, tidak ada gairah diskusi, minim karya dan gerakan kreatif. Di lain sisi dosen mengajar cukup penjadi peraga silabus yang dah disediakan dan menyuruh mengumpulkan tugas, sementara ia lebih semangat ngobyek di luar. Ada yang jadi artis, jadi peneliti opurtuniti (bikin proposal karena ngejar dana hibah, tau-tau beli mobil dan punya rumah mewah. Kalau perlu wayoh). Dah biaya kuliah dan sekolah mahal tapi tidak ada jaminan mutu. Itulah potret lembaga pendidikan saya, dan mungkin juga fenomena itu berlaku di hampir semua lembaga pendidikan, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Lembaga pendidikian ibarat barang komoditi (dagangan) yang mempetaruhakan topeng citra-nya yang sudah kadong apik (balelo banget yo).
Itulah yang membuat saya lari sementara ke gerakan mahasiswa. Kalau hanya koar-koar sendiri bisa kehabisan suara. Dan bsia saja mengalami pemakzulan/ recall/pergantian antarwaktu (PAW). Weleh kaya jadi anggota dewan saja. Enak kalau saya berokoar-koar melalui gerakan mahasiswa, mesti lumayan diperhatikan dan ada yang dukung. Kurang lebih bertahan dua tahun.
Iseng mau Buka Youtube malah Tertawa
Begitu penat kehidupan kampus yang cenderung datar, stagnan, hipokrit dll, saya mencari tempat pelampiasan. Dari pada pikiran sumpek, mumet dan klieng-klieng trus jemblug mending pegi ke warnet.
Biasa cah lanang ki golekane dan hiburane wis podho ngertine lah (pengertian antarjampemete). Cari warnet yang cepat aksesnya, karena ini buka situs dengan konten aneka satwa liar maupun jinak ada di situ. Buka aja situs Youtube. Uwis telung jam ra kroso (dikit, cuma habis Rp. 9000,-). Murah ekonomis kepuasan terjamin. Bawa flashdisk atau eksternaldisk “sent to”, putar sendiri di kamar kos. Terbawa sampai tidur.
Itu masih wajar seorang dalam stressing tingkat tinggi ia alihkan ke situ. Banyak teman-teman lain yang menempuh jalur ekstem sebagai problem solving-nya. Entah itu narkoba, dugem, minum-minuman keras, bahkan samapi freeseks dll. Hal itu mudah saja ditempuh di Jogja ini. Gaya hidup perkotaan modern mirip New York telah menyediakan itu semua di Jogja. Dan secara sosiologi, interaksi masyarakat Jogja ini dibangun oleh kawula muda. Jadi penilitian Iip Wijayanto bisa jadi merupakan sebuah realitia Jogja saat ini. Namun tingkat akurasi, realibiliti dan validiti perlu diuji.
Kita dapat melihat secara kasat mata untuk menganalisa tentang dinamika interaksi yang dibangun masyarakat Jogaja saat ini. Kehidupan mall dan malam insomnia ekstasi lebih semarak daripada kehidupan yang beriklim akademi dan beradab.
Hasrat untuk bisa menulis dengan baik dan menarik masih menjadi semangat hidup. Berdasarkan kemapuan realitas dan ideal, hanya inilah potensi sekaligus kekuatan ketika saya menutuskan dan menempuh jurusan ilmu hubungan internasional. Hampir saya belajar tentang teori-teori high politic dan low politic, dan itu lebih deteminan pada penguasaan pengetahuan dan pemahaman sejarah. Dan yang paling mutakhir mempelajari ideologi dan isu/wacana internasional. Artinya karakter yang dibangun dalam displin ilmu hubungan internasional menjadikan mahasiswa mampu untuk medskripsikan, menganalisa, memprediksi dan membuat preferensi atas fenomena sosial baik nasional dan internasional.
Otak dan nurani seakan terus menguap, seolah mempercepat laju kereta diskrusif. Baca koran dan cepat update buku (shopping) menjadi mutlak. Udah, ga baca koran dan baca buku dalam tempo satu minggu, mungkin anda bisa dianalogikan seperti petualang kehilangan kompas. Lhonga-lhongok….. (tulalit 3x, ngekngok).
Data-data yang terkumpul ini sekan satu sama lkain saling mendesak untuk keluar. Kepala semakin panas setelah melahap isi koran. Hati resah, sulit tidur, isinya cuma cungkir balik ga jelas apa yang dipikirkan. Keresahan hebat melanda, insomnia kesepian seolah jadi potret baru kamar. Gimana pacar ga punya, trus juga dah sepet lihat tapang teman-teman yang makin ga jelas ketika menjelang tanggal 20-an ke atas.
Tanpa diduga salah seorang dosen mata kuliah tertentu memberikan tugas makalah. Minggu depan makalah tersebut langsung dipresentasikan. Dalam hati, ini adalah kesempatan untuk mengungkapkan dan mengeluarkan isi kepalaku. Dengan ‘pede’ rangkaian kata mengalir deras bak air dari gunung. Tempo semalam makalah tersebut selesai dengan pas lima halaman. Betapa senang hatiku, melihat tulisan yang sebegitu banyaknya. Baru kali pertama saya menulis sebanyak itu.
Keesokan harinya dengan langkah optimis, seperti Olif mau menyatakan cintanya ke Asri. Ia ga sadar kalo Si Asri yang merupakan bunga kampus juga ditaksir banyak mahasiswa lain. Termasuk sahabatnya sendiri. Saat ditanya dosen, siapa yang mau presentasi duluan? Dengan lantang, “saya Bu”. Tidak usah saya gambarkan saat presentasi. Tetapi dijamin dapat apresiasi yang luar biasa, baik dari dosen dan teman-teman mahasiswa. Maklum kompetisi untuk menerapkan watak anatomi gathukaca dan jurus badak gila masih sangat rendah. Paling gak satu kelas hanya beberapa mahasiswa yang selalu dominan menguasi forum kelas. Kondisi itu berlajut hingga semester enam. Bayangkan saja stagnan, datar dan garing tanpa ada perlawanan yang berarti.
Namun ke-‘pede’-an itu menjadi drama yang membalikan keadaan ketika kumpulan makalah dan tulisan lain saya sisipkan ke media kampus maupun kirim ke media bisnis. Ternyata tulisan itu menduduki ratting rendah, tapi ga redah amat. Kronis ketika tak satupun tulisan yang terkirim ke media cetak : Kompas, KR, dan Bernas tidak ada satu yang dimuat. Sungguh mengiris hati.
Masih di warnet untuk sent to membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam. Video itu tidak saya putar di warnet tsb.melainkan nunggu sampai rumah. Biar rasa penasaran dan hasrat semakin tinggi. Iseng-iseng sambil nunggu saya buka saja blog milik salah satu redaksi senior lembaga jurnilisk tempat ku bernaung.
Terbukalah donlenon.blogspot.com. Bahak tawa ini seakan tak terbentung lagi dengan tulisan, artikel, feature, dan gambar unik yang ditampilkan. Apalagi blog itu ber-design apik dan interaktif, lain daripada yang lain. Saya merasa refresh malam itu. Dapat video syur, juga dapat banyolan pedas dan jenaka gaya slank Jogja yang jarang-jarang muncul selain Kelik.
Gara-gara kejadian semalam itu, memuat saya sadar bahwa untuk menulis perlu sebuah methode atau cara pendekatan terhadap kapasitas dan kemampuan diri. Selain itu juga melihat segmen pembaca.
Tulisan lucu, slengehan, dan penuh banyolan bukan berarti tanpa nilai dan tidak serius. Justru itu, telawat karya yang interaktif itulah pesan dapat sampai kepada pembaca. Meski dengan tertawa. Ha..ha..ha.haaaaaa….
“Selamat tertawa dan hidup manusia yang mendedikasikan diri untuk selalu tertawa”
(Hahahaha…!!!)
To be continue……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar