Rabu, 27 Agustus 2008
Politik Dan Aku (Bisikan Hati Nurani Baik ataukah Salah)
Pada Pemilu 2009 mendatang PDP dianggap partai yang paling layak dan representatif memimpin. Mengapa? Berdasarkan berbagai lembaga survey seperti PusDeHam Unair dan IndoBarometer yang menyebutkan PDP adalah partai baru paling populer. Hasil survey dua lembaga penelitian yang kredibel itu serta merta mendapat pembenaran di lapangan. Lihat saja ketika gerak jalan dan berbagai acara PDP, ratusan ribu pendukung dari berbagai lapisan masyarakat berdatangan. Karena kecintaan dan harapan mereka pada PDP.
Sekretaris Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Provinsi Partai Demokrasi Pembaruan (PKP PDP) DI Yogyakarta Drs. Mustiko Laut menyebutkan PDP memang layak dikategorikan sebagai partai paling populer, bukan hanya populer, tapi partai alternatif pilihan rakyat sekaligus pengganti partai lama.
“Parpol lama itu tidak sadar kalau rakyat sudah tidak percaya. Dari setiap periode pemerintahan yang dikuasai partai lama terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Justru hidup mereka bertambah susah seiring naiknya harga bahan pokok dan kesulitan mencari lapangan pekerjaan,” papar Mustiko beberapa waktu lalu.
Lanjut dia, adanya partai baru seperti PDP adalah yang terbaik dari sekian Parpol yang ada. Misalnya, dilihat dari sisi pembaruan politik, jauh sebelum partai ini terbentuk gagasan pembaruan politik sudah terformat sedemikan modern dan sangat demokratis. Corak kepemimpinan kolektif yang dibangun dari dalam internal partai makin tumbuh dan mengakar.
Diharapkan sistem tersebut menjadi therapy penyakit yang menggerogoti partai seperti budaya feodal, money politik dan konflik. Semua kepentingan partai harus berdasarkan kolektif kolegial, gotong royong, berbasis kompetesi, bersih dan peduli. Karena itu, jika kader terbiasa dengan pola yang dipakai dalam partai, maka out put-nya akan berdampak positif bagi bangsa dan negera. Karena itu, tidak salah jika lembaga survey menobatkan PDP sebagai partai yang terpopuler dari partai baru lainnya. Sebab belum apa-apa partai yang berlogo banteng berkiprah ini sudah diminati dan dikenal rakyat sebagai partai wong cilik sejati.
Aku Berpolitik
Menarik membaca tulisan M Jais Rambong (MJR) dengan judul ”Mempertanyakan Peran Mahasiswa” di Opini Serambi Indonesia, (4/7/07). Sebagai mahasiswa mungkin MJR telah mengalami apa yang diungkapkannya. Di satu sisi mahasiswa harus berperan sebagai agen perubahan, namun disisi lain mahasiswa harus berhadapan dengan sistem akademik yang lebih mementingkan target ketimbang peran dan kualitas mahasiswanya. Ditambah lagi mahasiswa harus mempertanggung jawabkan kegiatan kuliah kepada orang tuanya.
Namun ungkapan JRM, bahwa mahasiswa sekarang telah disibukkan oleh kemodernan zaman, seperti berceria diwarung kopi, Cafe-cafe dan berleha-leha di jalan-jalan merupakan realitas yang harus diakui. Maka tidak mengherankan bila mahasiswa sebagai kaum intelektual yang punya tanggung jawab kepada masyarakat dan bangsa berubah menjadi kaum oportunis yang hanya memikirkan kepentingan dirinya saja.
Sebenarnya banyak peran yang dapat dimainkan oleh mahasiswa sebagai kaum Intelektual serta yang bertanggungjawab kepada masyarakat?. Terutama memperjelas tujuannya kuliah. Apakah kuliah hanya untuk mencari kerja atau mencari ilmu?. Mungkinkah mahasiswa ”Belajar sambil berjuang dan berjuang sambil belajar” seperti terukir di Tugu Simpang Mesra?.
Pada dasarnya peran yang harus dimainkan oleh mahasiswa adalah kembali kepada Tri Darma Perguruan Tinggi (TDPT). Yaitu, Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Tetapi selama ini ada kesalahan dalam memahami TDPT. Banyak mahasiswa memahami TDPT secara hirarki bukan secara universal.
Bila TDPT di pahami secara hirarki, maka otomatis mahasiswa hanya berkewajiban untuk menyelesaikan pendidikan dulu di Perguruan Tinggi (PT), setelah itu baru berpindah ke level kedua yaitu Penelitian. Sedangkan Pengabdian dianggap sebagai level terakhir setelah mereka selesai kuliah.
Padahal pengabdian tidak harus menunggu selesai kuliah. Membela dan memperjuangankan kepentingan rakyat ketika masih kuliah, juga bagian dari pengabdian. Jadi pengabdian bukan hanya mengajar seperti Guru atau bekerja di kantor pemerintah saja. Tetapi terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat bagi kepentingan umum, juga bagian dari pengabdian.
Karena tuntutan akademik pula, banyak mahasiswa kadang malas berorganisasi. Bila berorganisasi mereka takut terganggu kuliahnya. Padahal di organisasi, kesempatan untuk mengabdi sangat terbuka. Tidak mengherankan bila yang sibuk di organisasi secara penuh berakibat terlambat selesai kuliah. Ada juga yang mampu menyelesaikan kuliah sesuai dengan target. Namun semua itu sangat tergantung dalam pengaturan waktu.
Walaupun demikian, kualitas mahasiswa yang berorganisasi jauh lebih baik bila dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak berorganisasi. Karena mahasiswa yang berorganisasi, mereka mendapatkan ilmu lebih di organisasi. Banyak hal yang dipelajari di organisasi tetapi tidak didapatkan dibangku kuliah. Disinilah letak kelebihannya.
Banyak pula mahasiswa yang aktif di organisasi tetapi kurang mendapat perhatian dari pihak Fakultas maupun Universitas. Misalnya, ketika mengikuti kegiatan organisasi keluar daerah, mahasiswa dengan bangga membawa nama Fakultas, Universitas dan Daerah.
Tetapi ketika kembali ke Fakultas, ternyata Dosen tidak memberi konpensasi selama mengikuti kegiatan tersebut. Padahal mahasiswa membawa nama Fakultas, Universitas dan Daerah. Hal seperti itu sering dialami sejumlah mahasiswa.
Seharusnya ada perhatian terhadap mahasiswa yang ikut kegiatan kemahasiswaan di luar daerah. Karena mereka pergi mewakili Fakultas, Universitas dan Daerahnya. Jadi sangat pantas di beri konpensasi. Bukan justru dipersulit dan disalahkan gara-gara mengikuti kegiatan tersebut.
Namun sangat berbeda ketika Dosen nyambi di luar (meminjam istilah MJR). Dengan mudahnya kegiatan kuliah ditiadakan atau diberi tugas membuat makalah, Paper dan Resume. Dosen tinggal bilang, ”Ini buku wajibnya, pindahkan isi buku kedalam bentuk Makalah, Paper atau Resume”. Suatu perintah yang sangat gampang di ucapkan tetapi sangat membosankan bagi mahasiswa, karena hanya bertugas untuk memindahkan saja.
Aktivis Musiman
Ungkapan ”Aktivis musiman”, terinspirasi dari tulisan Eep Saifullah Fatah tentang ”Oposisi Musiman” di salah satu media nasional. Istilah Oposisi Musiman, muncul sebagai tanggapan atas pro-kontra hak interpelasi di DPR RI.
Namun dalam dunia pergerakan mahasiwa dan berbagai aktivis saat ini. Ada kebiasaan baru dalam memulai aksinya. Seperti peringatan hari buruh, lingkungan hidup, Pendidikan, HAM, AIDS dan lain-lain. Ketika memperingati momentum-momentum tersebut, berbagai aktivis turun kejalan mengelar berbagai aksi. Habis momentum pudarlah aksi dan realisasinya.
Padahal pergerakan mahasiswa tidak hanya sebatas itu. Aktivis mahasiswa dan aktivis lain perlu menempatkan posisinya sebagai pengontrol dalam berbagai persoalan. Agar setiap kebijakan pemerintah tidak merugikan kepentingan umum. Peran yang berkelanjutan menjadi bukti, bahwa peran kontrol mahasiswa masih aktif.
Kalangan aktivis perlu mengawasi tindakan perusakan hutan setiap waktu, tidak harus menunggu hari lingkungan hidup atau peringatan hari-hari yang lain. Karena fungsi sosial kontrol tidak mengenal momentum. Kapanpun ada ketidakberesan maka fungsi tersebut bekerja secara cepat.
Kebiasaan ini bukan hanya terjadi dikalangan aktivis tetapi sudah menjadi tradisi di Pemerintahan. Lihat saja ketika hari lingkungan hidup, semua kantor dinas dihiasi dengan spanduk tentang lingkungan hidup. Mulai Presiden sampai camat, ikut mencanangkan penghijaun dengan ribuan pohon. Selesai serimonial, besok atau lusa giliran kambing atau lembu yang memakan tanaman tersebut. Karena kegiatan penghijaun hanya sebatas seremonial tahunan saja, ia tidak berlanjut sampai membuahkan hasil yang bermanfaat.
Padahal banyak hal yang memerlukan peran mahasiswa di dalamnya. Sebut saja dengan tugas rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Mahasiswa perlu mengawasi agar rekonstrusi tidak menjadi lahan memperkaya diri. Tidak perlu menunggu momentum tsunami atau ulang tahun BRR.
Kedepan mahasiswa perlu berperan lebih banyak lagi dalam berbagai persoalan. Fungsi kontrol perlu menjadi seragam harian mahasiswa dan para aktivis lainnya. Bukan seragam musiman. Jika hanya sebatas seragam musiman, berarti mahasiswa dan aktivis lainnya sama saja dengan aktivis musiman. Karena peran mahasiswa sangat diharapkan oleh masyarakat. Masa depan negeri ini sangat membutuhkan keterlibatan mahasiswa dengan pemikiran cemerlangnya dan aksi-aksi yang sesuai dengan aturan.
Konsep Idealisme
Seiring pergeseran matahari dari ufuk timur menuju senja, zaman ikut berubah. Setiap zaman pasti ada masalah sekaligus ada pahlawannya. Begitu juga pada zaman ini. Pada saat ini ada lima grand issue atau acuan dasar gerakan mahasiswa Indonesia. Antara lain, seputar Orbaisme; Liberalisme; Pendidikan; Disintegrasi Bangsa; Korupsi. Adapun, format gerakan mahasiswa ke depan adalah gerakan massa dan gerakan intelektual (intellectual movement). Sebuah gerakan massa hanya akan menjadi sebuah retorika ketika mahasiswa tidak mengolah budaya ilmiah dalam mengapresiasikan pemikiran dan idealismenya. Budaya ilmiah dapat dilakukan dengan gerakan intelektual (intellectual movement). Pada saat ini para aktivis pergerakan mahasiswa semakin sadar perlu menegedepankan nuansa intelektual ketika bergerak dalam menuntaskan perubahan.
Secara hakiki, gerakan mahasiswa adalah gerakan intelektual—jauh dari kekerasan dan daya juang radikalisme. Mengingat, gerakan ini bermuara dari kalangan akademis kampus—cenderung mengedapankan rasionalitas dalam menyikapi pelbagai permasalahan. Dalam perspektif ini, gerakan intelektual (intellectual movement) akan terbangun di atas Trias Tradition (tiga tradisi).
Pertama, terbangun diatas tradisi diskusi (Discussion Tradition). Gerakan mahasiswa harus memperbanyak ruang diskusi—pra-pasca pergerakan. Diskusi akan membawa gerakan mahasiswa menjadi sebuah gerakan rasional dan terpercaya—ciri khas gerakan mahasiswa. Lantaran itu, elemen masyarakat secara umum akan lebih menghargai isu-isu diusung oleh gerakan mahasiswa. Seperti dalam menurunkan demonstrasi, elemen gerakan mahaiswa harus mengkaji lebih detil—apa, mengapa, akibat dan latar belakang—kebijakan pemerintah harus ditentang. Dari kajian-kajian dalam bentuk diskusi lepas dengan mengundang para pakar dibidang-bidang berkaitan dengan agenda aksi, akan mampu melahirkan gagasan-gagasan dan analisa cemerlang. Hari ini, aktualisasi dan keakuratan data sangat penting bagi gerakan mahasiswa dalam mengkritisi dan bertindak. Sebagaimana kita ketahui zaman semakin maju sehingga dalam mengungkap sesuatu atau menghujam kritik harus berdasar, jelas, akurat dan terpercaya, tanpa itu sulit bagi gerakan mahasiswa dalam menyakinkan rakyat dalam menyalurkan aspirasi.
Kedua, terbangun diatas tradisi menulis (Writing Tradition). Aktivitas menulis merupakan salah satu gerbang menuju tradisi intelektual bagi gerakan mahasiswa. Sejak dulu sampai kini, tokoh dan intelektual bangsa Indonesia—bernotabene mantan tokoh aktivis pemuda dan mahasiswa, banyak melemparkan gagasan atau ide-ide cemerlang, kritikan tajam dan membangun wacana dalam bentuk tulisan. Sebut saja nama tokoh-tokoh populer seperti, Bung Karno, Bung Hatta, M. Natsir—era pra kemerdekaan; Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Deliar Noer, Hariman Siregar, Arief Budiman—era 60 sampai 80-an; Anas Urbaningrum, Eef Saefulloh Fatah, Kamarudin, Andi Rahmat (era 90-an) dan lain-lain. Bila kita balikkan ke pergerakan mahasiswa, mendukung dan menggalakkan melemparkan isu-isu lewat tulisan perlu perhatian serius. Karena, mewacanakan isu-isu melalui media cetak dapat dibaca oleh kalangan lebih luas—dalam artian lebih efefktif untuk menyebarkan gagasan atau wacana ke seluruh pelosok persada nusantara, bahkan sampai manca negara.
Hal ini bersinergi dengan peran mahasiswa Indonesia, meminjam istilah Michael Fremerey (1976) "Gerakan korektif", selain diorasikan melalui mimbar bebas dalam aksi demonstrasi juga dapat diwujudkan bagi tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa dalam bentuk tulisan di media massa. Lebih jauh, dalam buku Bergerak! (Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto) Satrio Arimunandar mengemukakan bahwa gerakan mahasiswa di Indonesia tak bisa lepas dari dukungan penuh media massa untuk menggapai hasil maksimum dalam perjuangan.
Sebagai misal, momentum penurunan rezim Orde Lama (ORLA), gerakan mahasiswa di dukung koran mahasiswa populer "Mahasiswa Indonesia" atau ketika gerakan mahasiswa menurunkan rezim Orde Baru (ORBA) di dukung penuh Buletin Bergerak (Media Aksi Mahasiswa UI), dalam menyebarkan seputar agenda atau wacana gerakan mahasiswa. Hal ini penting, untuk membangkitkan naluri mahasiswa dalam perjuangan menumpas kezhaliman dan kebatilan.
Angin segar bagi pergerakan mahasiswa, akhir-akhir ini tulisan-tulisan tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa (Ketua Umum Organisasi Kemahasiswaan atau Pemuda, Presiden Mahasiswa dan lain-lain) pernah menghiasi media massa, seperti Mamanto Fani (Ketua Umum KAMMI Daerah Sumbar 03-05) 'Mahasiswa Aceh Kembalilah'—24 februari 2005; Indra Kusumah (Presiden BEM UNPAD 2005/2006) 'Politisi Mahasiswa'—majalah SAKSI 16 Oktober 2005;
Selain itu, Yuli Widy Astono (Ketua Umum KAMMI Pusat 2005-2007) 'Nasionalisme Indonesia (Tawaran Membangun Trend Baru Gerakan Mahasiswa)'—majalah SAKSI 12 Oktober 2005; Azman Muammar (Ketua Umum BEM UI 2005-2006) 'Demokrasi Diambang Batas'—majalah SAKSI 28 September 2005; Irwan Suwandi SN (Presiden Mahasiswa UNAND) 'Orang Miskin Dilarang Sekolah'—Majalah SAKSI edisi Februari 2006; dan lain-lain.
Menyikapi hal diatas, tulisan-tulisan para tokoh aktivis pergerakan mahasiswa (Ketua Umum Organisasi Kemahasiswaan atau Pemuda, Presiden Mahasiswa dan lain-lain) tersebut sangat berarti dan berpengaruh bahkan bisa menjadi acuan bagi pergerakan mahasiswa Indonesia.
Ketiga, terbangun diatas tradisi membaca (Reading Tradition). Aktualisasi isu sangat penting bagi gerakan mahasiswa dalam bergerak. Begitu cepat pergeseran berita dan opini publik, memaksa kita untuk senantiasa membaca—kalau tidak akan tertinggal. Kesibukan bukan alasan tepat untuk tidak membaca, di mana atau kapan pun bisa kita luang waktu untuk membaca—antri mengambil karcis, di bus, menjelang demonstrasi dan lain-lain.
Sebuah harapan, gerakan mahasiswa juga bisa mewacanakan semacam 'Gerakan Gemar Membaca" dan disosialisasikan secara luas. Cara ini, dapat menunjukkan gerakan mahasiswa ikut membantu pemerintah dalam membuka kunci gembok kebodohan serta berperan menyelesaikan problem pendidikan Indonesia nyaris tak kunjung terselesaikan ini. Mudah-mudahan orientasi gerakan mahasiswa mengusung isu intellectual movement dengan jargon Trias Tradition—Discussion; Writing; Reading—ke depan (babak baru gerakan mahasiswa tahun 2006) akan mampu menghantarkan gerakan mahasiswa menuju mimbar kehormatan.
Paham Orthodox Secara Umum ??
Suatu saat saya pernah membaca di milis ttg cara pandang Ali Sadikin dalam menyikapi kasus legalisasi judi di masa kepemimpinanya 1966-1977. Ketika ditanya ttg persoalan judi dan konsekuensi keagamaan, Ali justru menanggapi sikap-sikap kaum agama dengan pandangan rasional dan menantang. Ali juga menganggap kelompok-kelompok politik berbasis agama sebagai kelompok opportunis yang hanya mengambil kesempatan dan popularitas politik.
Saya tidak melihat sisi kontroversial dalam melihat kasus judi, tapi saya melihat gaya dan sikap Ali Sadikin adalah sikap seorang yang benar-benar diwarisi cara pandang Jawa yang sedikit banyak berjarak dengan Islam orthodox, dan kejadian ini sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dalam konflik politik di Jawa. Ali Sadikin seorang turunan bangsawan Sumedang, yang merasa memiliki kaitan masa lalu dengan Kerajaan Pajajaran yang hindu, merupakan gambaran jelas posisi bangsawan-bangsawan Jawa dalam memahami Islam. Islam di Jawa, tidak seperti di Sumatera atau semenanjung Melayu, tidak pernah sepenuhnya masuk sebagai bagian budaya dominan. Masuknya Islam ke Jawa dan melakukan sebuah gerakan-gerakan politik kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak Bintoro, Cirebon dan Banten, dan menghancurkan kerajaan-kerajaan lama seperti; Pajajaran, Majapahit, Blambangan bahkan mampu membuat eksodus orang-orang Majapahit-Daha untuk lari ke Pulau Bali. Kejayaan Kerajaan dengan basis Islam-Orthodox sebenarnya hanya berlangsung lama di Banten, hal ini bisa terjadi karena Sultan Banten memiliki dukungan dari para Ajar (pemimpin-pemimpin rakyat) yang sedari awal memang tidak menyukai Pajajaran. Sementara di luar Banten Islam-Orthodox tidak bisa bertahan lama secara politik, tanah Priangan dan Cirebon keburu di kuasai Mataram sehingga tidak bisa menerima Islam Orthodox dan berkembangnya kekuasaan VOC Belanda, dan banyaknya kantor-kantor dagang Eropa yang menyurutkan penyebaran Islam lebih luas lagi ke dalam sistem budaya Jawa.
Islam Orthodox yang berpusat di pesisir-pesisir pantai, mengalami kekalahan paling telak ketika mulai berkembangnya kekuasaan Mataram-Islam di bawah Panembahan Senopati. Panembahan Senopati adalah putera Ki Gede Pemanahan, nama kecil Panembahan Senopati adalah Sutowijoyo, Sewaktu kecil ia diangkat anak oleh Sultan Hadiwijoyo alias Jaka Tingkir. Ketika berumur 16 tahun Sutowijoyo di perintahkan oleh Sultan Hadiwijoyo untuk membunuh musuh bebuyutannya, Pangeran Aryo Penangsang putera dari Pangeran Sedo Lepen, Sedo Lepen adalah pewaris sah tahta Demak, yang kemudian akibat intrik politik kekuasaan Demak berpindah tangan ke Hadiwijoyo yang mendirikan kerajaan di Pajang (Utara Solo). Sutowijoyo akhirnya berhasil menghabisi Pangeran Aryo Penangsang, dan oleh Sultan hadiwijoyo, Sutowijoyo dihadiahi tanah luas di daerah hutan Mentaok, oleh Sutowijoyo hutan itu dibuka dan kemudian didirtikan suatu wilayah bernama Mataram. Lambat laun Sutowijoyo mengangkat dirinya sebagai adipati yang otonom terhadap kekusaan Pajang, dan puncaknya Sutowijoyo mengumpulkan 55 Bupati di seluruh Jawa untuk melawan Hadiwijaya, dan akhirnya Hadiwijoyo kalah, ia tewas jatuh dari Gajah tunggangannya ketika bertempur melawan Sutowijoyo. Dan Sutowijoyo di tasbihkan menjadi Raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati ing Alogo. Gelar Sultan tidak di dapatkan oleh Sutowijoyo karena timbulnya penolakan dari kekhalifahan Turki yang masih menganggap kekuasaan berada ditangan kerajaan Demak dan Pajang.
Pada saat kekuasaan Jawa mundur ke wilayah selatan, maka seakan-akan sudah lepas pengaruh dari kekuasaan-kekuasaan Islam Orthodox atau Islam santri. Sebenarnya pertarungan antara Hadiwijaya dan Aryo Penangsang bisa dilihat juga pertarungan antara Sunan Kalijogo (guru Hadiwijoyo) dan Sunan Kudus (Ayah angkat Aryo Penangsang). Disini Sunan Kalijogo direpresentatifkan sebagai kelompok Islam yang lebih menguatkan kesadaran budaya lokal, dan membangun kekayaan budaya lokal guna memperkuat keislaman orang Jawa, Sementara Sunan Kudus lebih mengedepankan budaya impor (arab) yang juga dimasukkan ke dalam satu paket dengan pola-pola penyebaran Islam di tanah Jawa. Dan akhirnya metode Sunan Kalijogo-lah yang mendapatkan kemenangan di wilayah-wilayah pedalaman, sementara wilayah pesisir masih dipengaruhi oleh Sunan Kudus tapi lambat laun Islam Orthodox gaya Sunan Kudus terdesak oleh hadirnya ratusan kantor-kantor dagang Eropa dan mulai berkembangnya kantong-kantong masyarakat Cina, menyurutkan pengaruh Islam Orthodox di tanah Jawa.
Di wilayah pedalaman Islam kemudian tumbuh sebagai agama kerajaan, namun Panembahan Senopati yang masih memiliki darah biru Majapahit, masih seakan-akan kurang menerima hadirnya Islam dalam sistem budaya. Islam lebih dianggap sebagai alat politik yang penting untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang belum takluk kepada Mataram, dan membangun hubungan dengan ulama-ulama yang mulai berpengaruh di Timur Jawa. Jadi pada awal kekusaan di tanah Jawa pada periode Islam memang adanya jarak antara Islam dengan kekusaan, para satria-satria yang memimpin wilayah Tanah Jawa (termasuk Priangan), masih menganggap mereka adalah keturunan sah kekuasaan Majapahit atau Pajajaran yang memiliki kebduayaan jauh lebih tinggi dari kebudayaan Arab. Kaum ningrat masih sering membandingkan keagungan masa lampau sebagai basis pemahaman bahwa mereka adalah keturunan orang-orang mulia, Borobudur sering dianggap titik kejeniusan orang Jawa thd masa lalu. Borobudur adalah bangunan yang rumit dan lebih indah dari Angkor Wat di Kamboja. Islam bagi kelompok penguasa kemudian tidak begitu mempengaruhi cara hidup mereka, mereka masih dipengaruhi cara-cara berpikir Jawa yang dipengaruhi oleh campuran Hindu, Budha dan Islam Sufistik yang melahirkan filsafat Jawa. Untuk kaum priyayi, filsafat Jawa yang mempunyai gambaran lengkap dalam lakon-lakon wayang orang masih dianggap memiliki tempat yang tinggi, dan kemudian ini dilihat oleh Sunan Kalijogo yang kemudian menciptakan struktur wayang kulit yang tidak sepenuhnya mengadopsi secara sempurna bentuk-bentuk tubuh manusia namun menggambarkan subjek individu lakon itu sendiri.
Kejadian paling buruk dalam hubungan antara penguasa dan umat Islam-Orthodox adalah peristiwa pembunuhan 4000 ulama oleh Amangkurat I (cicit Panembahan Senopati) (1646-1677) yang menuduh para ulama bersekongkol ingin menjatuhkan dirinya. Dan akibat peristiwa ini semakin menjauhkan hubungan antara penguasa dengan Islam-Orthodox yang baru bisa dipulihkan saat Perang Jawa berlangsung di bawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro di tahun 1825-1830.
Islam hanya bisa berkembang di luar pengaruh-pengaruh kekuasaan yang penuh curiga, Islam banyak berkembang di wilayah-wilayah yang sangat jauh dari pusat-pusat kekusaan Jawa, itulah kemudian banyak dipahami Islam Santri yang kemudian banyak mendirikan pusat-pusat pendidikan (pesantren) banyak berkembang di wilayah timur Jawa yang jauh dari Mataram. Dan sikap kaum santri rata-rata tidak radikal terhadap sistem kekusaan Jawa, mereka menganggap bahwa kekuasaan adalah urusan di luar wewenang mereka.
Para Bangsawan Jawa (termasuk Priangan ) saat kehadiran Belanda di Eropa, sangat terpukau oleh kemajuan Belanda dalam hal ini Eropa, namun mereka juga masih menganggap Eropa sebagai bangsa rendahan, yang sama halnya dengan Cina dan Arab. Mereka melihat bahwa Eropa sangat menyenangi hal-hal yang berhubungan dengan kebendaan. Dalam pandangan hidup priyayi Jawa, kebendaan adalah hal-hal rendah yang harus dijauhi, sikap manusia harus berpusat pada keluhuran budi yang jauh dari nilai-nilai pamrih, sementara kebendaan menghubungkan manusia pada ketidak jujuran dan sikap pelit. Inilah makanya mayoritas pandangan Priyayi Jawa yang melihat bentuk-bentuk perdagangan sebagai sesuatu yang hina, mereka menganggap pedagang bukanlah pekerjaan mulia, dan wilayah perdagangan banyak diambil oleh orang-orang Cina, Arab dan suku-suku pribumi yang tidak begitu peduli dengan cara pandang Jawa seperti :orang kalang (bekas budak Mataram dari Bugis dan Bali) danorang-orang seberang (suku Melayu, Bugis dan pedagang-pedagang dari Minang). Inilah yang kemudian bisa menerangkan bagaimana orang-orang Jawa merasa lebih mulia untuk menjadi pegawai negeri, militer ataupun penguasa-penguasa wilayah dengan bayaran apapun mereka pasti berusaha mendapatkannya. Dan sebagai sumber dana selain tanah, para penguasa Jawa masa lampau memiliki kroni-kroni Cina yang digunakan sebagai alat untuk membangun perdagangan, dan terbentukalah perdagangan yang tidak fair dimana kekuasaan dan modal bertemu, ini sangat tidak bisa dipahami oleh orang-orang Eropa yang menganut sistem perdagangan bebas (ala smithian), namun lambat laun orang-orang Eropa juga terbawa-bawa dengan cara dagang seperti ini. Para Bangsawan Jawa (juga Priangan) lebih senang dan merasa mulia berkembang di bidang-bidang halus, seperti dunia sastra, (inilah makanya kenapa nama bangsawan dengan nama Sastra banyak digemari, seperti; Sastranegara, Sastraningrat, sastrawijajaya, sastradharsana dll), dunia spritual, dan dunia yang berhubungan dengan kekusaan. Sampai saat inipun para Jenderal, Gubernur bahkan Presiden sekalipun mempunyai kroni-kroni dagang Cina atau asing, seperti Sukarno yeng berkroni dengan Dasaat (arab, pada era Sukarno pedagang-pedagang Cina di habisi oleh kelompok politik Masjumi), Suharto memiliki Liem Sioe Liong, Prajogo Pangestu, Oom Tik (dan banyak sekali kroni Suharto, di era dia puncak kroni terhadap ekonomi timbul), Gus Dur ( Marimutu Sinivasan, dan William Suryawidjaja) dan sebagainya. Setiap Jenderal juga memiliki kroni, dan ini bisa dibuktikan pada sumber-sumber kesejahteraan Angkatan Bersenjata yang banyak disumbangkan oleh pengusaha-pengusaha keturunan.
Islam dalam politik juga tidak akan bisa memenangi pertarungan, Diponegoro yang menggunakan simbol-simbol Islam kalah dalam pertarungan politik dengan penguasa-penguasa Yogyakarta yang dibantu oleh Belanda. Sementara gerakan-gerakan politik Islam yang pada mulanya berhasil menjadi gerakan Rakyat seperti Sjarikat Islam (SI) yang menjelma menjadi kekuatan raksasa di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto, malah kemudian surut diawali oleh di akomodirnya kelompok Komunis (PKI) ke dalam SI , lalu hadirnya gerakan nasionalis yang lebih mengakomodir budaya Jawa ke dalam pemikiran politiknya, Partai Nasionalis Indonesia yang didirikan oleh anak didik HOS Tjokroaminoto, Ir. Sukarno, menjadi simbol terpenting lahir kekuasaan dominan di Indonesia yaitu kekuasaan kaum nasionalis yang sangat memperhatikan struktur masyarakat Jawa dan mengakui peran-peran kaum bangsawan di dalamnya, Sukarno sendiri sering mengaku sebagai keturunan bangsawan dan mengenakan embel-embel raden di namanya. Sementara Komunisme juga hadir dalam pertarungan politik di Jawa, Komunisme atau PKI yang sempat memberontak di tahun 1926 dan membawa implikasi merugikan dalam suasana pergerakan politik pada waktu itu, mengangkat bentuk perlawanan frontal terhadap kekuasaan penjajah dan juga memusuhi kaum priyayi. Disinilah kemudian muncul anggapan di kalangan priyayi bahwa komunisme adalah sebuah gerakan yang akan merusak tatanan. Tatanan masyarakat bagi orang Jawa merupakan fundamental bangunan masyarakat yang tidak boleh rusak, jika diganggu akan menimbulkan kekacauan suasana yang oleh orang Jawa disebut Gonjang-Ganjinge Jaman, atau Disharmoni. Nah, komunisme yang lebih mengangkat pembelaan terhadap rakyat banyak dan tertindas dianggap akan merusak kekuasaan para priyayi.
Setelah kehadiran pasukan pendudukan Jepang 1942-1945 dan Jepang mendidik orang-orang Jawa dalam sekolah-sekolah militer yang tidak elitis, populis dan berorientasi tempur disinilah semangat keprajuritan orang-orang Jawa muncul kembali setelah dihilangkan dengan sistematis oleh penguasa Belanda. Orang-orang Jawa yang medapatkan didikan militer kemudian merumuskan dirinya sebagai kelas baru para priyayi, kelompok militer inilah yang kemudian berkembang menjadi suatu lapisan elite yang kemudian sanggup bertempur dengan anasir-anasir panganggu kebudayaan Jawa. Mereka menafsirkan dirinya sebagai : Nasionalis, Perwira sejati dan Penjaga kemerdekaan Indonesia. Sementara kelompok-kelompok Islam-Orthodox yang berkembang di pesantren-pesantren memilii lasykar-lasykar rakyat bersenjata, namun kemudian oleh Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX di eliminir dalam program rekonstruksi dan reorganisasi (ReRa) di tahun 1948. Bila Kaum santri masih menurut saja dengan pelucutan senjata oleh kaum Nasionalis, tidak halnya kaum komunis yang memiliki pengaruh di kalangan Angkatan Perang, mereka menolak bila lasykar-lasykar sosialis juga di hapuskan, maka timbullah peristiwa Madiun 1948.
Kaum Santri di wilayah barat Jawa, kemudian dimanfaatkan oleh SM Kartosuwirjo untuk melakukan gerakan-gerakan politik yang bernama Darul Islam Indonesia/tentara Islam Indonesia (DII/TII), sebuah Negara Indonesia dengan dasar Islam. Timbulnya DII/TII malah memunculkan ketidaksenangan kelompok elite militer di Jawa Barat (Siliwangi) yang sangat nasionalis merekalah yang kemudian berhasil menangkapi gerombolan tersebut, tapi baru pada tahun 1963 DII/TII baru benar-benar bisa ditumpas (Bandingkan dengan PKI yang mati-hidup antara tahun 1948-1965).
Kelompok Komunis atau PKI yang berkembang pesat di tahun 1950, setelah DN Aidit menyingkirkan orang-orang komunis era Digul, mulai melakukan politik kompromi dengan Sukarno namun benar-benar di tolak oleh militer mereka bahkan terang-terangan mengancam Sukarno untuk melepaskan pengaruh PKI, kelompok militer ini berasal dari luar Jawa, sementara Sukarno masih dianggap dewa oleh kelompok militer Jawa, tahun 1958 PRRI/PERMESTA timbul dan membuat berang Sukarno, maka diperintahkan A Yani untuk menghabisi PRRI/PERMESTA, dan pasukan Yani menang, ini sekali lagi menguatkan bahwa kelompok militer Jawa memiliki keunggulan dengan kelompok militer luar Jawa. Hancurnya PRRI/PERMESTA menegaskan sekali lagi bahwa perwira Militer Jawa berhasil menaklukkan Militer luar Jawa, dan mengambil jarak dengan kelompok Sosialis ala Sjahrir dan Islam Modern Masjumi. Puncak kemenangan militer Jawa adalah peristiwa jatuhnya Sukarno di tahun 1967. Intrik di Angkatan Darat malah berkembang menjadi penghancuran thd dua lawan politik penting Angkatan Darat di era Nasakom, Figur Sukarno dan Partai Komunis Aidit. PKI yang sudah bersiap untuk menyambut pemilu malah takut keduluan akan kudeta Angkatan Darat, mereka melihat para perwira militer mungkin saja terinspirasi oleh kudeta militer di Aljazair tahun 1964. Kekhawatiran Aidit ditambah provokasi dari agen-agen intelijen yang bermain malah menimbulkan tindakan sepihak dari pasukan pengawal Bung Karno untuk menciduk tujuh Jenderal, dan ini malah menyeret PKI sebagai pelaku pembunuhan. PKI dibubarkan, Sukarno dijatuhkan dan kemenangan bagi militer Jawa yang pengaruhnya terasa sampai sekarang.
Pernyataan Ali Sadikin yang bersikap anti pati thd kelompok politik agama ternyata juga memiliki kaitan sejarah yang panjang, sikap Ali adalah cerminan dari begitu berjaraknya kekuasaan thd unsur-unsur lain di luar kekuasaan seperti : Partai Agama, Luar Jawa, Kelompok Sipil bahkan kelompok yang benar-benar di asingkan seperti Partai Komunis
Ngotot Vs Idealisme
jadi kenapa harus ngotot kalau masih punya idealisme yang tinggi ,apalagikan kalau mahasiswa yang di punya dan harta yang tersisa dan paling berharga adalah idealismenya yang mencerminkan dia adalah seorang mahasiswa sejati pesan saya pertahankan idealismemu jangan hanya karena uang dan jabatan raport kalian jadi merah bin jeblok oh yah pesan saya yang muda yang menghormati yang tua dan lebih baik lagi yang tua menghormat kepada yang lebih muda karena generasi muda adalah tumpuan harapan bangsa OK I will Go Sleep!.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar