Kamis, 30 Oktober 2008
Makan Korban
Awal mula kita mengemas media ini sungguh mengalami kesulitan. Terutama menentukan rubrik-rubrik yang akan mengisi majalah ini.
Bahan liputan dari tema yang ditentukan sudah terpenuhi semua. Namun yang jadi persoalan, pada rubrik mana kita akan tempatkan tulisan-tulisan ini.
Sementara dalam rapat redaksi belum diputuskan penetapan nama rubrik berdasarkan jenis tulisan, isi dan narasumber. Rapat redaksi lebih didominasi bahasan tentang kapan akan terbit, jumlah halaman yang pas, serta anggaran yang disediakan per terbitan.
Beberapa redaksi mengalami tekanan yang luar biasa. Banyak tulisan dan bahan untuk mengisi majalah tapi bingung untuk menempatkannya.
Sebagian redaksi mengalami demam panggung gara-gara hal itu . Mereka kurang “pede” melihat hasil tulisannya. Apakah ini sudah layak dimuat atau tidak, menjadi headline, pelengkap dan sebagainya.
Di lain sisi kegiatan editing untuk sementara dihentikan. Karena setelah melakukan pengamatan dari tulisan yang telah dimuat di blog, ternyata hasilnya dianggap kurang memuaskan.
Teman-teman yang berada di Litbang juga tidak kalah pusingnya. Merekalah yang bertanggungjawab memberikan rekomendasi yang cocok dan inovatif tentang pengemasan media ini. Mereka melakukan usaha studi banding dengan mengumpulkan, mencari dan menganalisa media-media cetak baik harian, mingguan, dan bulanan yang setipe. Baik dari segi konten (muatan), gaya bahasa sampai pada layout-annya. Tapi tak mendapatkan hasil yang menggembirakan.
Hasil survei dan verifikasi juga tak membuahkan hasil. Redaksi tetap saja dihantui perasaan bingung luar biasa.
Hingga detik-detik menjelang deadline, redaksi pelaksana yang harus putar otak molak-malik. Karena tanggungjawab atas terpenuhinya redaksi menjadi hak miliknya. Baik penentuan tema, pembagian jumlah newsroom dan iklan. Dan jika perlu mengontrol tugas masing-masing redaksi.
Latar belakang, pengalaman dan lingkungan ternyata menjadi faktor penentu seseorang mengambil keputusan. Tapi juga tidak terlepas daripada situasi dan kondisi, serta kebutuhan.
Latar belakang dan pengalaman menjadi jurnalis kampus membawa pada keputusan untuk menyajikan media ini sesuai dengan perspektif masing-masing redaksi dan pembaca. Proses redaksi dibangun dengan asas kemitraan dan partisipatif antara redaksi dan pembaca.
Menurut redaksi pelaksana, nama rubrik sebaiknya menggunakan bahasa-bahasa yang tidak lazim (tidak formal), kalau bisa memakai bahasa yang dekat dengan kehidupan sehari-hari pembaca. Secara psikologi massa orang akan merasa dekat karena ada kedekatan hubungan emosi.
“Sama pengalaman saya menetapkan nama rubrik dengan memakai kosakata nyleneh tapi cukup menggambarkan bahwa bacaan ini punya karakter dan mewakili mereka yang membacanya”.
Akhirnya untuk pertama kalinya Lenteramuda memakan korban masa lalu dari kehidupan redaksi pelaksana.
Dan insya Allah muatan tema dan penetapan rubrik ini mewakili karakter pembaca sekalian. Moga-moga edisi bulan Oktober redaksi mendapat santapan yang inovatif sekaligus menggelitik.
“Who gets what, when, how” tunggu kami.
Masjid Syuhada
Masjid Syuhada sebagai salah satu ikon dari Jogjakarta tidak banyak dikenal masyarakat di luar kota Jogkakarta. Mereka mengenal Jogja dengan Malioboro.
Masjid Syuhada merupakan salah satu bagian penting atas keberadaan kota Jogja. Masjid Syuhada merupakan salah satu peninggalan sejarah sekaliigus monumen sejarah.
Masjid Syuhada didirikan dengan latar belakang politis, yaitu keinginan Pemerintah Republik Indonesia untuk meninggalkan kenang-kenangan sekaligus monument bagi warga Jogjakarta. Monumen bagi mereka yang telah ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ide pembangunannya diprakarsai oleh MR. Assaat (Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) dan sejumlah menteri era Presiden Soekarno. Seperti Mr. Syafrudin Prawiranegara, K.H Wahid Hasyim, K.H Masykur, Z.A Ahmad dll.
Seperti diketahui, karena kegentingan politis dan keamanan, ibu kota Republik Indonesia di Jakarta untuk sementara dipindahkan ke Jogjakarta mulai tanggal 6 januari 1946. Pemerintahan dijalankan di Gedung Agung Jogjakarta, dekat pasar Beringharjo atau di sebelah utara keraton Jogjakarta.
Selain itu, alasan historis-politis, pendirian masjid Syuhada dilatarbelakangi pula oleh keinginan untuk melestarikan jiwa perjuangan. Tidak dalam bentuk tugu peringatan atau monumen melainkan masjid. Alasan lain yaitu keinginan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat akan tempat ibadah.
Ada tiga persyaratan yang dikemukan oleh para pemrakarsa pendiriannya, yaitu sesuai dengan sifat perjuangan bangsa Indonesia, sesuai dengan kebudayaan Indonesia, dan bisa menjadi peringatan yang senantiasa hidup dan terhidupkan sepanjang masa.
Simbolisasi Proklamasi
Pemilihan tanda peringantan berupa masjid dianggap tepat oleh banyak kalangan baik dari Indonesia maupun dari luar negeri. Karena tidak ada tanda peringantan yang melebihi kebernilaian sebuah masjid. Dan tidak ada tempat lain yang lebih tepat daripada sebuah masjid untuk mengabadikan jiwa kejuangan para syuhada itu.
Masjid Syuhada mulai dilakukan pembangunannya di Kota Baru pada tanggal 23 September 1950 dan diresmikan penggunaanya pada tanggal 20 September 1952 oleh Presiden Soekarno. Pemilihan lokasi di Kota Baru untuk memberikan perhargaan atas peristiwa Pertempuran Kota Baru. Selain itu lokasinya juga terletak di lembah Kali (sungai) Code, sungai yang membelah bagian tengah kota Jogjakarta.
“Itu tempat berjuangan melawan Jepang, ada 18 orang) yang gugur di sekitar Kota Baru, ujar RM. Tirun Marwito, Ketua Pengurus Masjid Syuhada. .
Itu terjadi pada 7 Oktober 1945. Waktu itu pemuda-pemuda kita ingin melucuti tentara Jepang. Hal itu dilakukan para pemuda kita untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangkan proklamasinya 17 Agustus 1945.
Bangunan Masjid Syuhada terdiri dari tiga lantai. Jika di lihat dari depan atau arah timur (dari Jalan I Nyoman Dewa Oka), lantai pertama sejajar dengan jalan. Di atas terdapat satu lantai namun seolah hanya dua lantai karena lantai dasar tidak nampak.
Jika dilihat dari belakang (dari arah jalan Amat Jazuli, tepi Kali Code), atau dari arah sudut barat dan sudut selatan, bangunan tampak tiga lantai. Dimana lantai pertamanya sejajar dengan jalan Amat Jazuli.
Atap masjid terdiri dua tingkat. Di bagian atas, sebagai puncak masjid, terdapat kupel (mustoko) besar sebagai kubah utama masjid. Di bagian bawahnya terdapat empat kupel kecil di sudut-sudut atap masjid.
Masjid Syuhada mempunyai arsitektur design yang melambangkan momen proklamasi kemerdekaan. Itu diletakan pada struktur bagunan anak tangga dan gapura masjid. Angka 17 disimbolkan dengan anak tangga yang berjumlah 17. Sementara bulan Agustus disimbolkan dengan pilar (tiang) gapura yang mengapit tangga sebelah depan, yang sengaja dibuat segi delapan. Tahun proklamsi disimbolkan dengan empat buah kupel (mustoko) kecil di empat sudut atap bagian bawah, lima kupel di atap bagian atas.
Kok di Kota Baru
Penempatan Masjid Syuhada di Kota Baru bukan tanpa alasan yang filosofis dan strategis. Itu tempat berjuangan melawan Jepang, ada 18 orang yang gugur di sekitar Kota Baru, terjadi pada 7 Oktober 1945. Waktu itu pemuda-pemuda kita ingin melucuti tentara Jepang untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangkan proklamasinya 17 Agustus 1945.
“Mereka meninggal di sekitar Kota Baru ini. Maka ini antara lain salah satu mengapa kok di sini, kebetulan juga tanah ini mudah dibebaskan oleh karena ini tanah keraton. Pada waktu itu Pak sultan merelakan tanah ini digunakan untuk mendirikan Masjid. Dan letaknya bagus sekali, pemandangan yang berada di sekitar ini lebih indah dari sekarang, bisa melihat gunung merapi” papar Pak Tirun.
“Untuk mendirikan tempat ibadah itu harus diletakkan pada tempat yang lebih tinggi”, tambah Pak Tirun.
Sepak Bola dan Kerukunan Beragama
Pendirian Masjid Syuhada pada mulanya berawal dari keinginan seorang penggemar sepak bola yang 'fanatik' Islam, yang sering bermain sepak bola di Kridosono, Haji Mu'amal. Keinginannya tersebut disampaikan dalam logat Jogja, kurang lebih seperti ini.
“Lha kalau di Kridosono ini diadakan bal-balan (sepakbola), lalu orang pada main bal-balan dan pada nonton bal-balan akan sembahyang Ashar dimana dan pada sembahyang maghrib dimana?”.
Kemudian teman bicaranya , Haji Suja' menimpali, “Lha, ya iya dimana? Wong nggak ada masjid, je.” Keinginan itu lalu disampaikan pada pemerintah Jepang yang pada waktu berkuasa.
Untuk mengambil hati orang Indonesia, pemerintah Jepang memberikan ijin sebuah gereja Protestan yang kosong dan tidak dipakai lagi dipakai untuk sholat. Gereja itu bernama Geraja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Namun pada waktu Belanda menguasai lagi Yogyakarta, orang-orang tidak mau lagi menunaikan sholat di gereja tersebut.
Lalu timbul persoalan lagi. “Mau pada sembahyang Ashar dimana, mau sembahyang Maghrib dimana ?” celotehan H. Muammal, Ketua Panitia Pertama pendirian masjid.
Kemudian pada saat pemerintahan Indonesia hijrah ke Jogjakarta, persolan itu disampaikan kepada beberapa staf pemerintahan diantaranya Mr. Assaat.
Diberikan Yasma
Selanjutnya pengeloalan Masjid Syuhada di diserahkan dari panitia pendirian (Mr. Assat) kepada YASMA ( Yayasan Asrama dan Masjid), yang kemudian dikenal dengan Yasma Syuhada. Amanat pembentukan Yasma adalah untuk membimbing pertumbuhan rohani dan jasmani pemuda Indonesia menuju pembangunan angkatan baru yang berjiwa Islam.
Untuk anak-anak Yasma melakukan kegiatan pendidikan dengan label Pendidikan Anak-anak Masjis Syuhada (PAMS), taman Kanak-kanak Masjid Syuhada dan Sekolah Dasar Masjid Syuhada. Bagi pemuda-pemudi Yasma menyelenggarakan Pendidikan Kader Masjid Syuhada (PKMS).
Khusus dalam seni baca Qur'an, Yasma menyelenggarakan berbagai macam pendidkan melalui Lembaga Pendidikan al Qur'an Masjid Syuhada (LPQMS). Selain itu Yasma juga mendirikan perguruan tinggi dengan nama Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Masjid Syuhada (STAIMS).
Syuhada Menghadapi Perubahan Jogja
Menyikapi perubahan yang ada pada kondisi masyarakat Jogja, menurut M. Hanif Sekertaris Pengurus Masjid Syuhada, Yasma mengambil peran pada kelompok masyarakat miskin secara ekonomi dan pendidikan. Dengan memberikan dan mencarikan beasiswa bagi keluarga tidak mampu.
“Sekolah-sekolah di bawah Yasma menampung 5% dari siswanya untuk kelompok msyarakat ini, jelas Hanif, yang juga dosen Fakultas Arsitektur YKPN.
Selain itu juga mendirikan LAZIS dan membangun unit-unit usaha melalui kegiatan kegitan ibu-ibu di desa-desa binaan.
Sebagai masjid kader, Masjid Syuhada terus memperbaiki mutu pendidikan dan kemampuan dakwah kader-kadernya. Meraka disebar ke masjid-masjid Jogja. Mereka menyebar untuk mengembangkan dakwah Islamiah pada masjid-masjid lain di lingkungan Jogja.
Masjid Syuhada sebagai masjid dakwah dan pendidikan tidak bisa lagi mengandalkan tingkat kemakmuran masjid dari masyarakat setempat. Tentu saja pengembangan kearah wisata religius perlu dipikirkan mengingat keberadaan Masjid Syuhada sebagai peninggalan dan mnumen sejarah. (yrw & henhentauruz)
Masjid Syuhada merupakan salah satu bagian penting atas keberadaan kota Jogja. Masjid Syuhada merupakan salah satu peninggalan sejarah sekaliigus monumen sejarah.
Masjid Syuhada didirikan dengan latar belakang politis, yaitu keinginan Pemerintah Republik Indonesia untuk meninggalkan kenang-kenangan sekaligus monument bagi warga Jogjakarta. Monumen bagi mereka yang telah ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ide pembangunannya diprakarsai oleh MR. Assaat (Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) dan sejumlah menteri era Presiden Soekarno. Seperti Mr. Syafrudin Prawiranegara, K.H Wahid Hasyim, K.H Masykur, Z.A Ahmad dll.
Seperti diketahui, karena kegentingan politis dan keamanan, ibu kota Republik Indonesia di Jakarta untuk sementara dipindahkan ke Jogjakarta mulai tanggal 6 januari 1946. Pemerintahan dijalankan di Gedung Agung Jogjakarta, dekat pasar Beringharjo atau di sebelah utara keraton Jogjakarta.
Selain itu, alasan historis-politis, pendirian masjid Syuhada dilatarbelakangi pula oleh keinginan untuk melestarikan jiwa perjuangan. Tidak dalam bentuk tugu peringatan atau monumen melainkan masjid. Alasan lain yaitu keinginan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat akan tempat ibadah.
Ada tiga persyaratan yang dikemukan oleh para pemrakarsa pendiriannya, yaitu sesuai dengan sifat perjuangan bangsa Indonesia, sesuai dengan kebudayaan Indonesia, dan bisa menjadi peringatan yang senantiasa hidup dan terhidupkan sepanjang masa.
Simbolisasi Proklamasi
Pemilihan tanda peringantan berupa masjid dianggap tepat oleh banyak kalangan baik dari Indonesia maupun dari luar negeri. Karena tidak ada tanda peringantan yang melebihi kebernilaian sebuah masjid. Dan tidak ada tempat lain yang lebih tepat daripada sebuah masjid untuk mengabadikan jiwa kejuangan para syuhada itu.
Masjid Syuhada mulai dilakukan pembangunannya di Kota Baru pada tanggal 23 September 1950 dan diresmikan penggunaanya pada tanggal 20 September 1952 oleh Presiden Soekarno. Pemilihan lokasi di Kota Baru untuk memberikan perhargaan atas peristiwa Pertempuran Kota Baru. Selain itu lokasinya juga terletak di lembah Kali (sungai) Code, sungai yang membelah bagian tengah kota Jogjakarta.
“Itu tempat berjuangan melawan Jepang, ada 18 orang) yang gugur di sekitar Kota Baru, ujar RM. Tirun Marwito, Ketua Pengurus Masjid Syuhada. .
Itu terjadi pada 7 Oktober 1945. Waktu itu pemuda-pemuda kita ingin melucuti tentara Jepang. Hal itu dilakukan para pemuda kita untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangkan proklamasinya 17 Agustus 1945.
Bangunan Masjid Syuhada terdiri dari tiga lantai. Jika di lihat dari depan atau arah timur (dari Jalan I Nyoman Dewa Oka), lantai pertama sejajar dengan jalan. Di atas terdapat satu lantai namun seolah hanya dua lantai karena lantai dasar tidak nampak.
Jika dilihat dari belakang (dari arah jalan Amat Jazuli, tepi Kali Code), atau dari arah sudut barat dan sudut selatan, bangunan tampak tiga lantai. Dimana lantai pertamanya sejajar dengan jalan Amat Jazuli.
Atap masjid terdiri dua tingkat. Di bagian atas, sebagai puncak masjid, terdapat kupel (mustoko) besar sebagai kubah utama masjid. Di bagian bawahnya terdapat empat kupel kecil di sudut-sudut atap masjid.
Masjid Syuhada mempunyai arsitektur design yang melambangkan momen proklamasi kemerdekaan. Itu diletakan pada struktur bagunan anak tangga dan gapura masjid. Angka 17 disimbolkan dengan anak tangga yang berjumlah 17. Sementara bulan Agustus disimbolkan dengan pilar (tiang) gapura yang mengapit tangga sebelah depan, yang sengaja dibuat segi delapan. Tahun proklamsi disimbolkan dengan empat buah kupel (mustoko) kecil di empat sudut atap bagian bawah, lima kupel di atap bagian atas.
Kok di Kota Baru
Penempatan Masjid Syuhada di Kota Baru bukan tanpa alasan yang filosofis dan strategis. Itu tempat berjuangan melawan Jepang, ada 18 orang yang gugur di sekitar Kota Baru, terjadi pada 7 Oktober 1945. Waktu itu pemuda-pemuda kita ingin melucuti tentara Jepang untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangkan proklamasinya 17 Agustus 1945.
“Mereka meninggal di sekitar Kota Baru ini. Maka ini antara lain salah satu mengapa kok di sini, kebetulan juga tanah ini mudah dibebaskan oleh karena ini tanah keraton. Pada waktu itu Pak sultan merelakan tanah ini digunakan untuk mendirikan Masjid. Dan letaknya bagus sekali, pemandangan yang berada di sekitar ini lebih indah dari sekarang, bisa melihat gunung merapi” papar Pak Tirun.
“Untuk mendirikan tempat ibadah itu harus diletakkan pada tempat yang lebih tinggi”, tambah Pak Tirun.
Sepak Bola dan Kerukunan Beragama
Pendirian Masjid Syuhada pada mulanya berawal dari keinginan seorang penggemar sepak bola yang 'fanatik' Islam, yang sering bermain sepak bola di Kridosono, Haji Mu'amal. Keinginannya tersebut disampaikan dalam logat Jogja, kurang lebih seperti ini.
“Lha kalau di Kridosono ini diadakan bal-balan (sepakbola), lalu orang pada main bal-balan dan pada nonton bal-balan akan sembahyang Ashar dimana dan pada sembahyang maghrib dimana?”.
Kemudian teman bicaranya , Haji Suja' menimpali, “Lha, ya iya dimana? Wong nggak ada masjid, je.” Keinginan itu lalu disampaikan pada pemerintah Jepang yang pada waktu berkuasa.
Untuk mengambil hati orang Indonesia, pemerintah Jepang memberikan ijin sebuah gereja Protestan yang kosong dan tidak dipakai lagi dipakai untuk sholat. Gereja itu bernama Geraja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Namun pada waktu Belanda menguasai lagi Yogyakarta, orang-orang tidak mau lagi menunaikan sholat di gereja tersebut.
Lalu timbul persoalan lagi. “Mau pada sembahyang Ashar dimana, mau sembahyang Maghrib dimana ?” celotehan H. Muammal, Ketua Panitia Pertama pendirian masjid.
Kemudian pada saat pemerintahan Indonesia hijrah ke Jogjakarta, persolan itu disampaikan kepada beberapa staf pemerintahan diantaranya Mr. Assaat.
Diberikan Yasma
Selanjutnya pengeloalan Masjid Syuhada di diserahkan dari panitia pendirian (Mr. Assat) kepada YASMA ( Yayasan Asrama dan Masjid), yang kemudian dikenal dengan Yasma Syuhada. Amanat pembentukan Yasma adalah untuk membimbing pertumbuhan rohani dan jasmani pemuda Indonesia menuju pembangunan angkatan baru yang berjiwa Islam.
Untuk anak-anak Yasma melakukan kegiatan pendidikan dengan label Pendidikan Anak-anak Masjis Syuhada (PAMS), taman Kanak-kanak Masjid Syuhada dan Sekolah Dasar Masjid Syuhada. Bagi pemuda-pemudi Yasma menyelenggarakan Pendidikan Kader Masjid Syuhada (PKMS).
Khusus dalam seni baca Qur'an, Yasma menyelenggarakan berbagai macam pendidkan melalui Lembaga Pendidikan al Qur'an Masjid Syuhada (LPQMS). Selain itu Yasma juga mendirikan perguruan tinggi dengan nama Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Masjid Syuhada (STAIMS).
Syuhada Menghadapi Perubahan Jogja
Menyikapi perubahan yang ada pada kondisi masyarakat Jogja, menurut M. Hanif Sekertaris Pengurus Masjid Syuhada, Yasma mengambil peran pada kelompok masyarakat miskin secara ekonomi dan pendidikan. Dengan memberikan dan mencarikan beasiswa bagi keluarga tidak mampu.
“Sekolah-sekolah di bawah Yasma menampung 5% dari siswanya untuk kelompok msyarakat ini, jelas Hanif, yang juga dosen Fakultas Arsitektur YKPN.
Selain itu juga mendirikan LAZIS dan membangun unit-unit usaha melalui kegiatan kegitan ibu-ibu di desa-desa binaan.
Sebagai masjid kader, Masjid Syuhada terus memperbaiki mutu pendidikan dan kemampuan dakwah kader-kadernya. Meraka disebar ke masjid-masjid Jogja. Mereka menyebar untuk mengembangkan dakwah Islamiah pada masjid-masjid lain di lingkungan Jogja.
Masjid Syuhada sebagai masjid dakwah dan pendidikan tidak bisa lagi mengandalkan tingkat kemakmuran masjid dari masyarakat setempat. Tentu saja pengembangan kearah wisata religius perlu dipikirkan mengingat keberadaan Masjid Syuhada sebagai peninggalan dan mnumen sejarah. (yrw & henhentauruz)
Tumpengan Lenteramuda
Terbit perdana dalam edisi cetak Majalah Lenteramuda, Perspektif Jogja disambut suka cita para redaksi. Setelah empat bulan hanya terbit lewat dunia maya.
Tentusaja ini menjadi sebuah catatan tersendiri bagi Penerbitan Pers Independen Lenteramuda yang menaungi Majalah Lenteramuda. Dengan usia rata-rata dibawah 25 tahun, Redaksi Lenteramuda punya keberanian dan semangat kerja keras tinggi. Apalagi dihadapkan pada persaingan belantara dunia bisnis jurnalistik yang anarkhi.
“Wis pokokke lillahi taala, maju patang mudur. Ini bukan nekat tapi ini adalah pembuktian bahwa yang muda saatnya berkarya dan berkarya” ungkap Nur Elly Saputra, redaksi IT, yang tergila-gila sama Linux.
Inilah wujud dari komitmen generasi muda ikut andil dalam membangun dan menentukan peradabannya. Jangan sampai arus yang kencang ini membawa semua kearah yang tidak menentu.
Kenekatan dan wajah penuh optimis diperlihatkan Andaruno Jati Laksono, Marketing Lenteramuda. “Awake dewe ki kudhu tampil beda dan percaya diri. Sing penting tetap komitmen bangun idealisme tapi juga fleksibel dan independen kudu mengiringi” menguatkan semangat Redaksi Lenteramuda.
Bancaan Jajan Pasar
Sebagai insan beragama dan berakidah, Redaksi Lenteramuda juga memajatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Tanpa hidayah dan karunia Nya tidak mungkin komitmen dan kerjasama untuk menghidupkan sampai sekarang, bahkan dapat terbit cetak.
Karena kebanyakan Lenteramuda dihuni orang Jawa, mereka menggelar berdoa bersama dengan format bancaan jajan pasar. Doa bersama dengan sugguhan berupa aneka warna jajanan tradisional yang dibeli dari pasar.
Sempat eyel-eyelan antarredaksi, memilih tumpengan atau bancaan jajan pasar. Pertimbangan kesederhanaan, kehidmatan dan pengiritan maka dipilih bancaan jajan pasar. Sekaligus nguri-nguri kabudayan Jawi, yang termasuk komitmen konten dari Majalah Lenteramuda.
“Tumpengan dah umum, tidak hanya orang Jawa tapi dah nasional. Sing bedo wae lah. Yo sekali-kali mlebu pasar, ojo nang mall wae”, perkuat Suhendri, Hendriawan dan Deko, Redaksi Lenteramuda yang lain. (jry, henhentauruz & dd)
Langganan:
Postingan (Atom)